Ketika itulah yang bersangkutan akan diberikan uang pensiun kembali, dengan memperhitungkan lama masa jabatannya.Â
Jika akumulasi masa jabatan katakanlah 10 tahun atau 2 periode, maka pensiunnya adalah yang maksimal (75 persen dari dasar pensiun).
Lamanya pemberian pensiun adalah hingga yang bersangkutan meninggal dunia. Sekiranya ada janda/duda yang ditinggalkannya, janda/duda tersebut menjadi pelanjut penerima uang pensiun, sampai ia meninggal dunia atau menikah lagi.
Jika janda/duda tersebut telah meninggal dunia, dan punya anak yang belum berusia 25 tahun, belum bekerja, dan atau belum pernah menikah, uang pensiun bulanan akan diterima anaknya.
Perlu diketahui, untuk anggota DPRD di daerah manapun di Indonesia tidak mendapat pensiun seperti anggota DPR RI, sehingga terkadang hal ini menimbulkan kecemburuan.
Tapi, menurut masyarakat yang kontra, justru yang betul adalah anggota DPRD. Artinya, seharusnya anggota DPR pun tidak dapat pensiun.
Alasannya jelas, yakni lebih terfokus pada aspek keadilan. Masak hanya bekerja satu periode selama 5 tahun saja, fasilitas uang pensiunnya seumur hidup, bahkan hingga pensiun janda dan anak.
Padahal, Pegawai Negeri Sipil (PNS) bekerja rata-rata sekitar 30 tahun. Pengabdiannya sangat lama dan memang layak dapat pensun bulanan hingga akhir hayatnya.
Lagipula, untuk membayar pensiun anggota DPR itu, sangat besar tekanannya terhadap anggaran pengeluaran negara. Bukankah setiap periodenya banyak anggota DPR baru, sehingga menambah jumlah penerima pensiun?
Sumber uang pensiun anggota DPR adalah melalui mekanisme Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), seperti juga pensiunan bagi PNS.
Sebagai catatan, bagi pekerja perusahaan swasta dan juga pekerja di perusahaan milik negara, uang pensiunnya berasal dari dana yang dikelola Lembaga Dana Pensiun di masing-masing perusahaan, atau diserahkan ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).