Seorang teman saya, sebut saja namanya Emon, kepincut untuk membuka kedai kopi atau kafe atau apapun namanya. Yang penting, jualan utamanya adalah minuman berbahan utama kopi.
Kenapa Emon kepincut? Ya, mungkin ia merasa akan gampang-gampang saja, dan bahkan mengasyikkan mengoperasikan kedai kopi.Â
Dengan berbekal melihat ramainya beberapa kedai kopi orang lain, Emon pun yakin akan menuai kesuksesan.
Memang, sudah sejak beberapa tahun terakhir ini, anak muda lagi punya kebiasaan minum kopi di kafe. Ngopi-ngopi cantik sambil ngobrol atau berselancar di dunia maya.
Kalau di sebuah kafe ada fasilitas wifi-nya, anak muda semakin betah nongkrong di sana. Jadi, bisnis kopi memang lagi trend.
Emon membuka warung kopi dengan dibantu oleh seorang sepupunya yang bernama Juned. Kebetulan, Emon sudah punya tempat yang strategis dengan luas yang memadai.Â
Lokasinya terbilang ramai karena di sampingnya juga ada kios yang sudah ditempati bengkel motor. Ada pula penjual helm dan asesoris mobil, serta penjual bakso.
Ilmu perkopian diperdalam Emon dengan membaca beberapa referensi di media massa dan video tutorial di media sosial.Â
Ringkas cerita, Emon sudah tahu peralatan yang diperlukan, juga mengetahui desain ruangan yang memikat serta pernak perniknya.Â
Begitu pula soal menu yang harus tersedia, secara teori telah dikuasai Emon. Membuat cappucino, espresso, juga membuat kopi dengan moka pot, sudah dipahaminya.Â
Tempat berbelanja biji kopi dengan kualitas bagus telah disurvei Emon. Ia pun setelah membeli peralatan, mulai latihan membuat berbagai varian kopi.
Alhamdulillah, ada pula temannya yang berpengalan mendesain ruangan, bersedia membantu menata ruang yang akan menjadi tempat Emon berjualan.
Nama kedai kopinya "Starmoon", mungkin ada kaitannya dengan nama Emon sebagai pemilik sekaligus pengelolanya.Â
Papan nama dipasang di depan kedai yang lumayan eye catching. Pada malam hari, neon sign serta tata lampunya cukup menarik.
Akhirnya, warung kopi Starmoon resmi dibuka. Teman-teman Emon dan teman-teman Juned yang sebelumnya telah diinfokan via media sosial, pada berdatangan.
Entah basa basi atau memang sebenarnya, komentar teman-teman yang datang sangat positif. Demikian pula beberapa famili yang sempat datang, juga mengaku puas.Â
Jam buka kedai kopi itu sejak pukul 15.00 hingga pukul 24.00. Tapi jika tamu masih ngobrol sambil ngopi di jam yang seharusnya sudah tutup, kedai tetap buka. Artinya, kedai buka sampai sekuatnya tamu untuk ngopi.Â
Dua bulan pertama semua berjalan sesuai yang diharapkan Emon. Ketika sore hari, lumayan ramai anak-anak dan remaja yang datang, biasanya membeli milkshake.Â
Setelah pukul 19.00, giliran tamu dewasa dan setengah baya mulai datang. Biasanya para tamu datang berdua atau berombongan sekitar 4-6 orang. Mereka asyik ngobrol sambil ngopi.Â
Emon yang orangnya memang senang ngobrol akan menemani tamunya yang datang sendiri. Topik apa saja cukup dikuasai Emon, mulai dari politik, agama, gosip artis, sampai sepak bola.Â
Banyak pula tamu yang memilih sibuk sendiri memainkan game via hape mereka, atau menikmati alunan musik yang diputar Emon.Â
Begitulah, Starmoon terlihat selalu ceria, karena para tamu datang memesan kopi, lalu mereka ngobrol diselingi suara cekikian atau tertawa lebar.Â
Tak sekadar minum kopi, Emon juga menyediakan snack berupa keripik dan kacang yang dibelinya di toko grosir makanan kecil.Â
Memasuki bulan ketiga, mulai muncul hal yang diluar ekspektasi Emon. Suatu malam, ada 2 tamu yang masing-masing hanya minum segelas kopi, tapi ngobrolnya hingga jam 02.00 dinihari.
Padahal, selama ini, kalau pun ada tamu yang kebablasan ngobrol, jam 01.00 mereka sudah pulang dan Starmoon pun tutup.Â
Dengan demikian, Emon dan Juned masih bisa tidur sekitar 6 jam, sebelum paginya berbelanja bahan baku kopi dan makanan kecil.
Lebih parah lagi, kemudian ada tamu yang pulang jam 03.00 karena lama curhat ke temannya, soal kariernya yang mentok akibat persaingan yang tidak sehat dengan temannya.
Akhirnya, menjadi kebiasaan kedai baru bisa tutup antara pukul 03.00 hingga 04.00. Hal ini betul-betul membuat stamina Emon dan Juned anjlok.
Emon enggan mengingatkan tamu agar pulang, karena sepertinya si tamu memang menjadikan Starmoon sebagai pelarian, mungkin karena berantem dengan istrinya.
Kemudian, pukulan telak bagi Emon justru berasal dari saudara sepupunya sendiri. Juned dengan tegas menyatakan menyerah dan meninggalkan Starmoon begitu saja.
Apa boleh buat, Emon terpaksa sendirian mengelola warung kopi. Dan sejak saat itu pelanggan turun drastis, mungkin pelayanan Emon tidak maksimal karena dalam kondisi mengantuk berat.Â
Pernah Starmoon tak dapat tamu sama sekali, yang jelas membuat Emon menjadi rugi. Tak ada pilihan lain bagi Emon, selain mantap memutuskan untuk menutup kedai kopinya.
Dari kisah teman saya itu, bisa diambil pelajaran bagi mereka yang berminat untuk membuka kedai kopi. Kelihatannya memang asyik dan menggoda.
Tapi, si calon pelaku usaha kedai kopi harus sadar dengan konsekuensi banyaknya tamu yang cuma memesan kopi secangkir, tapi ngobrolnya berjam-jam.
Perlu kreativitas agar tamu juga memesan makanan atau minuman yang lain. Juga perlu ketegasan sejak awal terkait jam buka dan tutup kedai kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H