Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Ironi UMKM, Dukungan Setengah Hati bagi Penyelamat Ekonomi

13 Januari 2025   06:12 Diperbarui: 13 Januari 2025   13:18 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di tempat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) roti Langgeng Sari di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (12/01/2024). (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) punya kedudukan khusus dalam lanskap perekonomian Indonesia. Apalagi, kalau dikerucutkan pada UMK saja.

Untuk usaha yang sudah masuk kelompok menengah, permasalahan yang dihadapinya relatif berbeda dengan usaha mikro dan kecil. Makanya, meskipun tulisan ini menyebutkan UMKM, tapi penekanannya pada UMK.

Bahkan, dalam berbagai referensi terbaru, muncul lagi kelompok usaha ultra mikro, yakni usaha yang lebih rendah skalanya dibanding usaha mikro. 

Namun, karena usaha ultra mikro merupakan pecahan dari usaha mikro, dalam artikel ini menganggap keduanya sebagai kelompok mikro saja.

Apapun definisi atau kriteria yang dipakai, fakta berbicara bahwa UMKM adalah penyelamat perekonomian Indonesia, karena mampu menyerap banyak tenaga kerja yang gagal masuk pekerjaan formal. 

Lebih dari 90 persen tenaga kerja di negara kita diserap oleh UMKM. Ini angka yang luar biasa. Artinya, jika UMKM menghadapi masalah serius, imbasnya bisa menambah jumlah pengangguran secara signifikan.

Ketika Presiden RI masih dijabat Joko Widodo (Jokowi), pada acara salah satu BUMN di Jakarta (7/3/2024), beliau mengungkapkan pelaku UMKM layak mendapatkan perhatian besar, mengingat pentingnya peran mereka di bidang ekonomi.

"Kita tahu jumlah UMKM kita itu kurang lebih 65 juta, kontribusi ke PDB ekonomi kita 61%, dan penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM 97%, sebuah angka yang juga sangat besar sekali," kata Jokowi.

Mari kita cermati paparan Jokowi di atas. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto yang hanya 61 persen, padahal dihasilkan oleh 97% tenaga kerja, ini menyiratkan ada kesenjangan.

Bukankah hal itu bisa dibaca, 3% tenaga kerja yang diserap usaha besar (biasa disebut sektor korporasi) mampu menyumbang 39% PDB? Jadi, yang 3% dapat 39 bagian, yang 97% hanya dapat 61 bagian.

Kesenjangan itu akan makin melebar bila perusahaan kelas menengah dikeluarkan dari UMKM, dan hanya mengambil UMK saja.

Agar kesenjangan itu bisa dipersempit, maka produktivitas UMK perlu ditingkatkan, yang secara kumulatif harus lebih tinggi dari pada peningkatan produktivitas sektor non-UMK.

Karena pelaku usaha mikro dan kecil ini disebut juga kelompok yang lemah ekonominya, maka tak bisa lain, keberpihakan pemerintah harus makin tegas.

Memang, di level pemerintah pusat ada kementerian yang khusus membidangi UMKM. Demikian pula di level daerah, ada dinas yang khusus menangani UMKM.

Tapi, ironisnya, tak jarang pelaku usaha kecil itu justru dikejar-kejar aparat pemerintah, terutama dari aparat satuan pengamanan seperti Satpol PP.

Pedagang yang mengais rezeki dari remah-remah orang berpunya itu biasanya dianggap berjualan di lokasi yang terlarang. Makanya, pemerintah ingin mereka direlokasi.

Namun, kalau relokasinya ke tempat yang sepi, bukankah ini bisa diartikan "membunuh" pelan-pelan pelaku UMK?

Maka, sepertinya terkesan kalau antar berbagai instansi pemerintah sendiri, tidak sama cara atau pendekatan yang dilakukannya terhadap UMK di masing-masing daerah.

Kalau ada yang melihat pemerintah memandang dengan sebelah mata, atau tidak mendukung dengan sepenuh hati terhadap upaya pengembangan UMK, barangkali ada benarnya.

Ke depan, pemerintah bersama pihak lain terkait, perlu menyamakan sikap, agar dukungan total bisa didapat pelaku UMK. 

Ilustrasi UMKM|dok. Grab, dimuat Kompas.com
Ilustrasi UMKM|dok. Grab, dimuat Kompas.com

Kelemahan atau keterbatasan yang dihadapi oleh pelaku UMK, perlu mendapat solusi yang jitu. Kelemahan atau keterbatasan dimaksud, antara lain seperti berikut ini.

Pertama, kurangnya akses terhadap permodalan. Meskipun telah ada skema pinjaman bersubsidi seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), tapi malah banyak pelaku UMK yang terjerumus pinjol.

Artinya, KUR perlu dievaluasi ulang. Ada ketidaksinkronan antara kebijakan dengan implementasinya. Kebijakannya jelas, KUR bisa disalurkan tanpa agunan. Nyatanya, bank masih minta agunan atau jaminan.

Kedua, cara berbisnis pelaku UMK masih memakai cara yang tradisional, karena kurangnya pengetahuan teknologi digital. Padahal, era sekarang, pemasaran dan transaksi online lebih digandrungi masyarakat.

Diharapkan agar di setiap kabupaten dan kota bisa dibangun beberapa kampung marketer, yang mendidik dan melatih warga setempat memasarkan produk secara online.

Contoh suksesnya bisa melihat atau belajar ke Purbalingga, Jawa Tengah. Kalau pemuda di desa lain sibuk mencari kerja di kota besar, di pelosok desa di Kabupaten Purbalingga, ada ratusan pemuda yang bekerja online setiap harinya dengan bermodalkan smartphone.

Di Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol yang jauh dari keramaian kota ini tepatnya, para pemudanya sudah bisa menghasilkan jutaan rupiah dengan membantu memasarkan produk para pelaku pasar online dari seluruh Indonesia melalui Kampung Marketer.

Kampung Marketer sendiri dirintis oleh Nofi Bayu Darmawan, seorang pemuda desa setempat yang sudah menguasai internet marketer sejak kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Akuntansi (STAN) Jakarta.

Nofi bersedia mengorbankan kariernya di Kementerian Keuangan, dan terjun ke kampung halamannya, memberikan pelatihan teknis soal pemasaran secara online dan  pelatihan manajemen sederhana.

Ketiga, produk yang dijual kalah bersaing dengan barang impor. Apalagi, barang impor yang ilegal alias barang selundupan dijual dengan sangat murah, seperti yang terjadi pada produk pakaian jadi.

Solusinya, tak bisa lain, pemerintah perlu memperketat pengawasan untuk mencegah masuknya barang impor secara ilegal.

Keempat, terkait regulasi, pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan UMKM. Regulasinya yang memudahkan dan mengurangi hambatan birokrasi.

Namun, kemudahan tersebut jangan pula memunculkan "kanibalisme", seperti kemudahan dalam membuka jaringan minimarket papan atas yang mematikan toko kelontong di pasar tradisional dan di pinggir jalan.

Tentu masih banyak upaya lain yang perlu dilakukan pihak-pihak terkait. Intinya, dukungan terhadap UMKM harus dengan sepenuh hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun