Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Calon Tunggal di Pilkada, Pertanda Matinya Demokrasi?

10 Agustus 2024   06:11 Diperbarui: 10 Agustus 2024   06:30 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Benny Susetyo|dok. tribunnews.com

Pakar Komunikasi Politik Antonius Benny Susetyo mengatakan, fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menandakan matinya demokrasi (Tribunnews.com, 7/8/2024).

Dengan calon tunggal, maka pemilih hanya dihadapkan pada dua pilihan "ya" dan "tidak". Kalau ya berarti memilih calon tunggal itu. Atau memilih kotak kosong, jika "tidak". 

Artinya, rakyat tidak punya pembanding antar calon, atau ada kesan parpol-parpol yang kompak mengusung calon tunggal  memaksakan kehendaknya pada rakyat.

Dengan calon tunggal, semua parpol pengusung ingin memastikan kemenangan atau mengunci kemenangan sedini mungkin.

Dari beberapa kasus calon tunggal, rata-rata memang bisa menang. Kecuali pada 2018 di Pilkada Kota Makassar, di mana paslon Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi kalah dari kotak kosong.

Maka, Pilkada Kota Makassar diulang lagi pada tahun 2020 yang diikuti 4 paslon dan Danny Pomanto terpilih sebagai pemenang.

Menurut Benny, demokrasi adalah sistem yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan.

Jadi, dalam pilkada seharusnya menawarkan beberapa calon kepada masyarakat. Calon tunggal mungkin lahir secara karbitan, atau lebih berbahaya lagi bila dilakukan dengan "membeli" dukungan banyak parpol.

Akibatnya, bila calon tunggal terpilih, cenderung akan mengutamakan kepentingan parpol pendukungnya ketimbang kepentingan rakyat banyak.

Nah, sekarang mari kita lihat apa yang terjadi hingga hari ini. Ada kemungkinan di DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Timur akan muncul calon tunggal.

Perlu diketahui, sebetulnya secara ketentuan dimungkinkan adanya calon independen yang maju tanpa dukungan parpol. 

Tapi, hal ini membutuhkan verifikasi atas  dukungan masyarakat dengan mengecek ke KTP yang dikumpulkan calon independen. 

Untuk sekarang ini, jadwal pendataran calon independen sudah lewat batas waktunya. Artinya, peluang sudah tertutup.

Di Jakarta, Anies Baswedan yang sebetulnya sudah didukung PKS, PKB dan Nasdem, terancam tidak bisa ikut Pilgub pada November tahun ini.

PKB menyatakan akan meninjau ulang pencalonan Anies karena tidak setuju dengan Sohibul Iman yang ditetapkan PKS sebagai cawagub.

Padahal, PKS sendiri membutuhkan dukungan partai lain. Jumlah kursi PKS di DPRD DKI Jakarta, meskipun menjadi pemenang pemilihan legislatif, belum cukup untuk mengusung calon sendiri.

Pengerahan kekuatan dari KIM Plus, yakni Koalisi Indonesia Maju pengusung Prabowo-Gibran pada pilpres lalu, plus partai lain, cenderung memajukan Ridwan Kamil manjadi cagub DKI Jakarta.

Kuat dugaan, Kaesang Pangarep yang akan diduetkan dengan Kang Emil (sapaan akrab mantan Gubernur Jabar itu). Kaesang adalah putra bungsu Presiden Joko Widodo dan adik dari Gibran.

Melihat gejala di atas, sekarang para pengamat dan aktivis pro demokrasi ramai-ramai menyuarakan pendapat, agar jangan sampai terjadi calon tunggal di Jakarta. 

PKS, PKB, dan Nasdem sebaiknya segera duduk bersama untuk memilih cawagub pendamping Anies yang disepakati ketiga partai itu.

Ingat, Jakarta adalah barometer politik nasional. Jakarta juga menjadi sumber atau tempat berdomisili banyak kader unggulan. 

Bukankah gubernur DKI Jakarta bisa menjadi batu loncatan untuk menjadi Presiden? Joko Widodo yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta, sukses dalam pilpres. 

Anies yang menggantikan Jokowi sebagai gubernur, juga menjadi capres, namun akhirnya kalah dari Prabowo-Gibran. 

Kalau Anies kembali ikut Pilkada DKI Jakarta sekarang, peluangnya untuk menang lumayan besar, sesuai dengan elektabilitasnya yang tinggi menurut hasil survei sejumlah lembaga.

Jika Anies terpilih lagi jadi gubernur (meskipun sebentar lagi Jakarta kehilangan statusnya sebagai ibu kota negara), peluangnya untuk jadi Presiden kembali terbuka.

Bagaimana jadinya bila nanti betul-betul terjadi calon tunggal di Jakarta? Rakyat bisa saja menghukum dengan memilih kotak kosong, yang akan sangat memalukan parpol pendukung.

Parpol dapat dipersepsikan telah gagal total dalam menyerap aspirasi masyarakat, kalau calon tunggal kalah dari kotak kosong.

Mari kita simak apa yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta dan daerah lainnya. Mudah-mudahan demokrasi masih hidup dengan munculnya minimal dua paslon di setiap daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun