Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hari Tani Nasional, Perlu Berguru dari Alam Terkembang

25 September 2024   07:11 Diperbarui: 25 September 2024   07:26 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alam di Ranah Minang|dok. guguak8koto.blogspot.com

Orang Minang punya filosofi yang tergambar dari kata pepatah yang berbunyi "Alam takambang jadi guru" (alam terkembang menjadi guru). 

Falsafah tersebut adalah falsafah pendidikan yang bermakna bahwa alam merupakan guru yang sesungguhnya bagi manusia, yang dapat memberikan hikmah dan ikhtiar. 

Alam terkembang menjadi landasan cara berpikir dan norma-norma masyarakat Minangkabau. Hal ini menyiratkan bahwa alam dengan semua keberlimpahan dan kebijaksanaannya adalah guru yang utama.

Bukan hanya sebagai sumber pengetahuan, alam juga menjadi landasan moral. Dalam hal ini, alam memberikan pelajaran tentang cara hidup yang baik, bersikap bijaksana, dan menjalani kehidupan yang harmonis.

Alam yang dimaksudkan adalah alam semesta, tidak terbatas pada alam yang terlihat secara kasat mata di Ranah Minang. 

Makanya, orang Minang banyak yang berani dan gigih berjuang di daerah perantauan, baik tanah rantau di Indonesia maupun di mancanegara.

"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh oleh perantau asal Minang, sehingga mereka cepat beradaptasi dengan budaya di tempat mereka berdomisili.

Pentingnya alam sebagai sumber pelajaran, tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Minang. 

Sebagai contoh, para petani sangat memahami ketergantungannya pada alam. Jadi, untuk mencapai hasil panen yang baik, mereka harus menjaga tanah dan lingkungan secara baik juga. 

Selain itu, banyak petani yang menggunakan metode organik, penanaman berundak, dan irigasi tradisional untuk menjaga kesuburan tanah dan menghindari kerusakan lingkungan.

Masyarakat Minangkabau yang hidup di pedalaman juga memiliki hutan adat yang dikelola secara bijaksana, dalam arti dijaga dan dipelihara untuk keberlanjutan di masa depan.

Praktik menjaga hutan adat dilakukan dengan cara menanami hutan adat dengan berbagai macam pekayuan, obat-obatan, dan tak jarang juga dijadikan tempat untuk ritual adat. 

Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Minangkabau sangat menjaga dan menghormati alam sebagai sumber kehidupan.

Masyarakat Minangkabau menyadari bahwa pemanfaatan yang berlebihan, yang sudah termasuk mengeksploitasi, akan merusak alam, bahkan mengganggu keseimbangan ekosistem. 

Praktik memanfaatkan sumber daya alam seperti kayu, ikan, dan hasil hutan lainnya harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati, dan tidak boleh bersifat rakus.

Caranya adalah dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan, sekaligus agar tidak merusak lingkungan ekosistem alam.

Tapi, kalau kita kritisi apa yang terjadi di zaman sekarang di Sumatera Barat, falsafah berguru pada alam ini mulai terlihat ada penyimpangan. 

Hal ini terbukti dengan semakin seringnya bencana alam yang menimpa Ranah Minang. Memang, bencana tersebut ada kaitannya dengan kondisi geografis yang rawan gempa bumi dan juga erupsi gunung berapi.

Namun, harus diakui, musibah seperti tanah longsor juga terjadi akibat aktivitas manusia yang merusak struktur tanah. Penggalian pasir yang bahkan dengan mengorbankan bukit, terlihat di beberapa lokasi.

Beberapa bulan yang lalu, Sumatera Barat terdampak oleh banjir lahar dingin dan tanah longsor. Penyebabnya adalah hujan dengan intensitas lebat, ditambah material lahar dingin erupsi Gunung Marapi.

Banyak bangunan yang hanyut, termasuk Kafe Xakapa, kafe megah yang belum lama dibangun di pingir jurang, di poros jalan raya Padang-Bukittinggi.  Kafe ini menjadi favorit pengunjung untuk berfoto-foto.

Artinya, ada pemanfaatan alam yang berlebihan, ketika demi memikat wisatawan, bangunan di lokasi yang tidak seharusnya pun dibiarkan, atau bahkan diizinkan.

Terkait bangunan yang hancur, membuktikan bahwa betapa falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" tidak lagi digunakan, karena membangun rumah yang tidak "senafas" dengan alam.

Padahal, nenek moyang orang Minang dulu,  sengaja membangun Rumah Gadang yang merupakan hasil berguru dari alam. 

Pembangunan rumah gadang dikonstruksikan pada tiang-tiang penyangga, yang uniknya tiang-tiang tersebut tidak tertancap ke tanah, melainkan ditempatkan di atas batu sandi.  

Tiang-tiang tersebut dikonstruksikan dengan bentuk mengembang ke atas (tidak lurus), seperti bangunan kapal besar.

Perlu diketahui bahwa alam Minangkabau terletak pada posisi garis khatulistiwa yang berdampak pada rawannya bencana gempa bumi. Inilah yang disiasati dengan cerdas oleh nenek moyang orang Minang.

Jadi, ditempatkannya tiang rumah gadang di atas batu sandi, bertujuan agar ketika terjadi gempa bumi, rumah gadang tidak runtuh atau roboh. 

Ketika bumi bergetar, yang bergerak bukan bangunan rumah gadang, melainkan batu sandi penyangga yang mengikuti gerakan bumi.

Kembali ke berbagai bencana alam yang akhir-akhir ini melanda Sumatera Barat, selain berdampak hilangnya banyak rumah warga, juga hilangnya lahan pertanian, terputusnya akses transportasi, dan sebagainya.

Agar musibah serupa tidak terulang lagi, perlu kiranya diingatkan kepada pemerintah dan masyarakat untuk kembali berguru kepada alam yang terkembang.

Hal itu sekaligus juga akan menjawab persoalan pertanian agar selaras dengan prinsip berkelanjutan. Apalagi, sekarang adalah momen Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September. 

Hari Tani Nasional sudah ditetapkan sejak tahun 1963 oleh Presiden Soekarno. Peringatan ini terwujud dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963.

Dikutip dari laman Kemendikbud, Hari Tani Nasional merupakan peringatan sekaligus apresiasi golongan petani Indonesia dalam perjuangan pembebasan diri dari kesengsaraan.

Sebagai negara agraris dengan banyaknya pekerja di sektor pertanian, sudah seharusnya kita menghargai kerja keras para petani.

Nah, dalam rangka Hari Tani Nasional, ada baiknya kita gelorakan kembali semangat berguru pada alam terkembang.

Perlu digarisbawahi di sini, bahwa alam bukan berarti sekadar kondisi geografis semata, melainkan mencakup seluruh aspek, termasuk manusia dengan pola kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun