Artinya, ada pemanfaatan alam yang berlebihan, ketika demi memikat wisatawan, bangunan di lokasi yang tidak seharusnya pun dibiarkan, atau bahkan diizinkan.
Terkait bangunan yang hancur, membuktikan bahwa betapa falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" tidak lagi digunakan, karena membangun rumah yang tidak "senafas" dengan alam.
Padahal, nenek moyang orang Minang dulu, Â sengaja membangun Rumah Gadang yang merupakan hasil berguru dari alam.Â
Pembangunan rumah gadang dikonstruksikan pada tiang-tiang penyangga, yang uniknya tiang-tiang tersebut tidak tertancap ke tanah, melainkan ditempatkan di atas batu sandi. Â
Tiang-tiang tersebut dikonstruksikan dengan bentuk mengembang ke atas (tidak lurus), seperti bangunan kapal besar.
Perlu diketahui bahwa alam Minangkabau terletak pada posisi garis khatulistiwa yang berdampak pada rawannya bencana gempa bumi. Inilah yang disiasati dengan cerdas oleh nenek moyang orang Minang.
Jadi, ditempatkannya tiang rumah gadang di atas batu sandi, bertujuan agar ketika terjadi gempa bumi, rumah gadang tidak runtuh atau roboh.Â
Ketika bumi bergetar, yang bergerak bukan bangunan rumah gadang, melainkan batu sandi penyangga yang mengikuti gerakan bumi.
Kembali ke berbagai bencana alam yang akhir-akhir ini melanda Sumatera Barat, selain berdampak hilangnya banyak rumah warga, juga hilangnya lahan pertanian, terputusnya akses transportasi, dan sebagainya.
Agar musibah serupa tidak terulang lagi, perlu kiranya diingatkan kepada pemerintah dan masyarakat untuk kembali berguru kepada alam yang terkembang.
Hal itu sekaligus juga akan menjawab persoalan pertanian agar selaras dengan prinsip berkelanjutan. Apalagi, sekarang adalah momen Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September.Â