Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Jumlah BUMN per akhir tahun 2023 tercatat sebanyak 142 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang bisnis, mulai dari energi, infrastruktur, keuangan, hingga layanan dan manufaktur.
Perlu diketahui, jumlah BUMN di masa sebelumnya jauh lebih banyak dari angka di atas. Pada periode Erick Thohir menjadi Menteri BUMN sejak Oktober 2019 lalu, beliau gencar melakukan transformasi yang berujung dengan perampingan jumlah BUMN.
Dengan transformasi, beberapa BUMN sejenis digabungkan, beberapa BUMN dijadikan anak perusahaan dari BUMN lain, dan BUMN yang selalu merugi tanpa prospek usaha yang bagus dilikuidasi.
Pro dan Kontra Eksistensi BUMN
Keberadaan BUMN tak urung menimbulkan pro dan kontra, meskipun sebetulnya di banyak negara lain pun BUMN merupakan hal biasa, yang disebut dengan State Owned Enterprise (SOE).
Mereka yang mempertanyakan BUMN, menginginkan agar pemerintah sebagai pembuat kebijakan saja dan bukan menjadi pelaku bisnis, agar fungsi regulasi dan eksekusi tidak bertabrakan.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa BUMN akan diisi oleh orang-orang yang berasal dari partai politik pengusung presiden terpilih atau dari tim suksesnya.
Namun, mereka yang menginginkan BUMN berkembang, punya alasan yang kuat, yakni karena BUMN paling tidak punya 3 fungsi strategis berikut ini.
Pertama, fungsi komersial sebagai perusahaan yang berbisnis untuk mencari profit. Artinya, jika mampu dikelola secara profesional, potensi cuannya sangat besar.
Nah, cuan tersebut tentu akan kembali kepada negara sebagai pemegang sahamnya. Distribusi laba kepada pemegang saham ini disebut dividen.
Dividen total BUMN untuk tahun 2023 sebesar Rp 82,1 triliun adalah yang terbesar sepanjang sejarah. Ini menjadi sumber penerimaan negara yang dapat diandalkan selain pungutan pajak.
Hanya saja, jika dilihat per masing-masing BUMN, setoran dividen yang besar tersebut didominasi oleh 4 perusahaan, yakni Bank Rakyat Indonesia, Pertamina, Bank Mandiri, dan Telkom.
Artinya, ada kesengajaan yang cukup signifikan dari sisi profitabilitas antara BUMN papan atas dan BUMN papan bawah yang di antaranya masih ada yang menderita kerugian.
Kedua, fungsi yang mengutamakan pelayanan publik. Memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, kalau hanya diserahkan kepada perusahaan swasta, ada potensi yang berbahaya.
Soalnya, perusahaan swasta hanya memikirkan bisnis atau keuntungan saja. Apakah masyarakat akan tercekik, bukan concern pihak swasta.
Makanya, kehadiran BUMN bisa menjadi penyeimbang. BUMN berusaha mencari untung tanpa mengorbankan perekonomian rakyat banyak.Â
Oleh karena itu pula, pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai negara untuk dikelola demi kemakmuran rakyat.
Contoh cabang produksi dimaksud, antara lain di bidang energi dan migas, keuangan, air, dan sejenisnya.
Ada pula pekerjaan penting, tapi pihak swasta tidak tertarik karena tidak menguntungkan. Untuk itu, pemerintah mendirikan BUMN untuk mengerjakan proyek yang langka peminat itu.
Misalnya, untuk membangun jalan di pedalaman Papua, pelayaran ke pulau terpencil, dan penerbangan perintis ke daerah pelosok yang tidak terhubung dengan jalan darat yang layak.
Ketiga, fungsi BUMN sebagai agent of development (agen pembangunan), termasuk sebagai alat pemerintah dalam menata kebijakan perekonomian.
Beberapa jenis subsidi untuk warga kurang mampu, seperti subsidi listrik dan bahan bakar atau energi, eksekusinya dilakukan oleh BUMN terkait.
Demikian pula kebijakan dalam rangka menstabilkan harga pangan atau yang termasuk dalam sembilan bahan pokok (sembako), kebijakannya diputuskan pemerintah dan eksekusinya melibatkan Bulog sebagai salah satu BUMN.
Potensi Politisasi dan Bagi-bagi Posisi, Ancaman bagi BUMN
Uraian di atas jelas memperlihatkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat banyak, dan BUMN menjadi alat atau "kendaraan" yang digunakan pemerintah.
Masalahnya, kebijakan pemerintah dan strategi bisnis BUMN tertentu berpotensi diboncengi kepentingan politik. Kalau ini terjadi, tentu jadi ancaman bagi BUMN.
Umpamanya, dalam pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan bank milik negara, dan penyaluran pangan bersubsidi yang dilakukan BUMN, ada potensi diklaim sebagai credit point untuk parpol tertentu.
Ngomong-ngomong soal politisasi BUMN, yang paling sering dihebohkan media adalah terkait adanya kesan bagi-bagi jabatan, baik untuk posisi direksi dan terutama di posisi komisaris BUMN.
Ambil contoh yang baru-baru ini ramai diberitakan media massa, di antaranya yang dikutip dari Antaranews.com (14/6/2024) di dua paragraf berikut.
Sejumlah kader partai yang diangkat menjadi komisaris, antara lain, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Simon Aloysius Mantiri sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Fuad Bawazier sebagai Komisaris Utama PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID.
Berikutnya anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Felicitas Tallulembang sebagai Komisaris Independen PT Bank Syariah Indonesia, dan kader Partai Gerindra Siti Nuriza Puteri Jaya sebagai Komisaris Utama PT Pupuk Sriwidjaja Palembang.
Bisa jadi kader partai tersebut memang seorang profesional dan untuk mendapatkan posisi di atas telah melalui tahap fit and proper test.
Bisa jadi pula, pengurus partai politik yang ditunjuk menjadi komisaris BUMN telah mengundurkan diri dari kepengurusan partai.
Namun, jika ada pengamat yang menilai hal di atas sebagai bagi-bagi posisi, tentu juga punya pertimbangan tersendiri.
Tulisan ini tidak memberikan penegasan mana yang betul, hanya sekadar mengingatkan tentang potensi yang mengancam upaya transformasi BUMN.
Terlepas dari adanya potensi politisasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kehadiran BUMN akan tetap diperlukan. Bahkan, diharapkan masing-masing BUMN mampu meningkatkan kinerjanya.
Lanjutkan Transformasi BUMN sambil Melakukan Refleksi
Agar semua BUMN semakin meningkat kinerjanya dan berdaya saing, mutlak diperlukan pengelolaan yang lebih profesional, dan tidak diintervensi oleh kepentingan politik.
Maka, transformasi yang tengah berlangsung saat ini, sebaiknya terus dilanjutkan, termasuk nanti oleh siapapun yang menjadi Menteri BUMN.
Transformasi BUMN telah membuktikan berkontribusi besar terhadap keuangan negara. Namun, potensi politisasi yang mengancam laju BUMN perlu diantisipasi.
Untuk itu, Kementerian BUMN dan masing-masing perusahaan milik negara perlu menunjukkan dua hal berikut ini.
Pertama, strategi bisnisnya betul-betul murni bisnis dan bebas dari intervensi politik. Kalaupun dititipi kebijakan resmi pemerintah seperti tugas menyalurkan subsidi, mekanismenya tetap sesuai dengan tata kelola yang baik.
Penunjukan mitra bisnis BUMN harus betul- betul objektif, bukan karena mitra tersebut ada kaitannya dengan pihak tertentu.
Kedua, pejabat di BUMN yang kebetulan berasal dari atau pernah terafiliasi dengan partai politik, perlu membuktikan keprofesionalannya.
Menjadi harapan kita semua, agar tagline "BUMN untuk Indonesia" bukan sekadar tagline. Maksudnya, kepentingan nasional menjadi faktor utama, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H