Pimpinan startup yang meninggalkan perusahaan yang didirikannya saat perusahaan sudah demikian besar, semakin sering terjadi. Hal ini dapat dibaca di berbagai media yang membahas ekonomi.
Jauh sebelumnya, Nadiem Makarim meninggalkan startup yang didirikan dan dikembangkannya, yang tercatat sebagai startup asli Indonesia yang sangat fenomenal, yakni Gojek.
Betapa tidak, siapa yang membayangkan jutaan pengojek motor terangkat derajatnya karena jasanya banyak yang membutuhkan.
Sebelumnya, tanpa aplikasi seperti Gojek, pelanggan ojek motor yang tinggal di lokasi yang jarang dilalui kendaraan, harus berjalan kaki ke pangkalan ojek.
Pengojek pun kalau berkeliling kampung tanpa jelas siapa pelanggan yang akan dituju, akan buang-buang bahan bakar saja.Â
Lalu, fenomenalnya, dari sekadar mempertemukan kebutuhan pelanggan dan pengojek, aplikasi Gojek berkembang pesat menjadi aplikasi serba ada, karena tersedia macam-macam fasilitas.
Nah, ketika Gojek bergabung dengan Tokopedia menjadi Goto, Nadiem sudah meninggalkan perusahaan yang telah dibesarkannya selama 9 tahun.
Alasan kepergian Nadiem, karena ia ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Menteri yang membidangi pendidikan dan pada Oktober 2019.
Sekarang beberapa media massa memberitakan tentang perginya pendiri dan sekaligus pemimpin Goto, yakni William Tanuwijaya dan Melissa Siska Juminto.
Mundurnya dua pendiri Tokopedia di Goto terjadi tak lama setelah TikTok resmi mengakuisisi saham mayoritas dari Tokopedia. Jadi, Tokopedia tidak lagi dalam kendali penuh Goto.
Terlepas dari kasus di atas, ada berbagai alasan kenapa seorang pendiri atau seorang pemimpin perusahaan yang sudah sukses mengembangkan usaha, memilih untuk hengkang.
Paling tidak, alasan tersebut adalah seperti yang dipaparkan pada tujuh butir berikut ini:
Pertama, karena menerima tugas lain seperti yang dialami Nadiem Makarim. Bisa juga karena ingin fokus bekerja di bidang lain.
Kedua, karena masuknya investor baru yang membuat pemegang saham mayoritas berpindah tangan. Investor baru lazim saja bila membawa pemimpin baru.
Ketiga, karena dibajak atau dirayu oleh perusahaan pesaing dengan iming-iming penghasilan yang jauh lebih besar.
Keempat, perbedaan visi dan misi dengan investor besar yang baru masuk, yang membuat pendiri atau pemimpin yang lama merasa tidak satu "gelombang" lagi.
Kelima, karena memprediksi perusahaan akan memasuki penurunan kinerja di tahun-tahun yang akan datang, dan merasa keluar di saat jaya merupakan pilihan yang baik.
Perlu diketahui, antar perusahaan startup memang persaingannya sangat keras dan sering terlibat adu banyak "bakar uang" untuk promosi.
Keenam, karena merasa sudah cukup bekerja sebagai profesional dan ingin menikmati kehidupan, dengan kesempatan yang lebih banyak untuk menyalurkan hobi.
Ketujuh, karena ingin lebih tekun beribadah sesuai agama yang dianutnya dan melakukan kegiatan amal atau sosial.
Bagaimanapun, adalah hak seseorang untuk meninggalkan perusahaan tempatnya selama ini bekerja.Â
Tentu, caranya dengan mengikuti ketentuan yang berlaku, misalnya sebulan sebelum hengkang sudah memberitahu ke pihak terkait di perusahaan tersebut.
Apakah akan terjadi guncangan di perusahaan itu? Bisa ya, bisa tidak. Ya, kalau penggantinya ternyata seorang yang mengubah banyak hal dengan cara otoriter.
Akibatnya, para karyawan akan resah, produktivitas akan menurun. Dengan demikian, perusahaan bisa mengalami penurunan laba atau bahkan merugi.
Buntutnya, akan banyak pekerja yang terkena PHK karena perusahaan tidak kuat menggajinya. Atau, tanpa PHK pun akan banyak pekerja yang minta resign.
Namun, bila di perusahaan sudah ada sistem manajemen sumber daya manusia yang baik, termasuk dalam kaderisasi, selalu muncul pemimpin baru ketika ditinggalkan pemimpin lama.
Kader dari internal perusahaan siap untuk melanjutkan estafet kepemimpinan. Atau, kalau pimpinan baru berasal dari luar perusahaan, jajaran pimpinan internal siap berkolaborasi.
Contohnya, kisah Astra Group ketika pendirinya William Soerjadjaja terpaksa melepaskan sahamnya pada 1992, agar mampu menyelamatkan Bank Summa yang didirikan anaknya.
Demikian pula BCA Group yang dulu dimiliki Sudono Salim. Ketika krisis moneter 1998, bank ini terpaksa dilepas ke kelompok lain, dan sekarang pemiliknya adalah Kelompok Djarum.
Pergantian pemegang saham mayoritas di Astra dan BCA tidak membuat perusahaan jadi goyang, apalagi hancur. Justru Astra dan BCA makin berkibar hingga sekarang.
Kedua perusahaan di atas terkenal punya assessment center yang bagus, dan punya sistem pelatihan dan pengembangan karier yang jadi percontohan bagi perusahaan lain.
Memang, kedua contoh di atas bukan perusahaan startup. Tapi, contoh itu tetap relevan untuk perusahaan apapun, termasuk juga untuk organisasi yang bukan perusahaan.Â
Bahkan, kader yang baik akan tetap memberi warna, meskipun pucuk pimpinan tiba-tiba datang dari luar yang merupakan orangnya investor baru.
Lazimnya, pucuk pimpinan yang baru akan meneruskan sistem kaderisasi yang telah berjalan dengan baik. Kalau pun ada perubahan, biasanya bersifat minor
Bos boleh saja datang dan pergi. Namun, dengan sistem manajemen sumber daya manusia yang baik, perusahaan tetap berjalan dengan lancar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H