Tidak aneh, bila direktur utama yang mengendalikan usaha sehari-hari dipegang oleh seorang suami, dan istrinya menjadi komisaris utama yang bertugas mengawasi.
Apakah si istri betul-betul mampu mengawasi apa saja yang dilakukan suaminya untuk berbisnis, tidak begitu dipersoalkan. Bisa jadi si istri yang malah dikendalikan suaminya.
Yang penting, secara formal dalam berbagai dokumen resmi perusahaan, ada tanda tangan direksi dan komisaris.Â
Namun, pada perusahaan yang sudah go public (sahamnya bisa dimiliki publik dengan membeli melalui bursa efek), penunjukan direksi dan komisaris tentu tidak bisa dilakukan secara suka-suka.
Pengangkatan direksi dan komisaris tersebut harus melalui keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).Â
BUMN pun banyak yang sudah go public, namun posisi pemegang saham mayoritas masih dipegang pemerintah. Jadi, pemerintah bisa mengendalikan apa yang akan diputuskan dalam RUPS.
Dengan demikian, boleh dikatakan, siapa-siapa yang akan dipilih menjadi anggota direksi dan juga anggota komisaris, berada dalam genggaman pemerintah.
Tugas komisaris disebut berat, ya berat. Tapi, disebut tidak begitu berat, ya bisa juga. Meskipun begitu, menurut pemerintah sudah ada kriteria dan proses seleksi dalam menetapkan komisaris BUMN.
Kenapa bisa disebut tugas komisaris tidak begitu berat? Karena tidak perlu bekerja full time seperti direksi.Â
Lagi pula, ada auditor internal dan ada auditor eksternal (akuntan publik) yang temuan auditnya akan membantu tugas komisaris. Ada juga berbagai komite ahli yang membantu komisaris.
Namun, tetap diperlukan kemampuan belajar cepat bagi komisaris yang katakanlah kompetensinya belum cukup, atau tidak punya pengalaman dalam mengelola perusahaan.