Gelar sarjana pada umumnya diartikan sebagai modal untuk mencari pekerjaan. Ini tidak salah, meskipun sebenarnya manfaat jadi sarjana jauh lebih luas.
Masalahnya, bagi mereka yang bukan berasal dari keluarga kaya, tidak gampang untuk bisa mengikuti kuliah di kampus yang diidamkannya.
Kuliah itu mahal, dan semakin mahal lagi dengan hebohnya berita kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Memang, Mendikbudristek telah membatalkan kenaikan UKT untuk tahun ini setelah gelombang demo di berbagai kampus tak terbendung lagi.
Tapi, biaya kuliah tak semata UKT. Banyak buku dan peralatan yang perlu dibeli. Apalagi, bagi anak kuliahan yang perlu mengeluarkan uang untuk biaya kos-kosan.
Meskipun gelar sarjana bisa menjadi modal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi karena terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, membuat cukup banyak sarjana yang menganggur.
Nah, bayangkan ketika seorang ibu muda yang baru melahirkan anak, memilih untuk resign dari pekerjaannya, agar bisa fokus mengurus anak.
Padahal kariernya lagi bagus-bagusnya, dan ia juga menyandang gelar magister manajemen dari PTN terkemuka.
Mungkin akan muncul pendapat yang menyayangkan, buat apa capek-capek kuliah dan mengeluarkan uang banyak kalau akhirnya menjadi ibu rumah tangga.
Namun, tentu juga ada pendapat sebaliknya, yang mengatakan tak ada yang sia-sia bagi seorang sarjana yang full time jadi ibu rumah tangga.
Dengan bekal kesarjanaannya, seorang ibu punya modal yang lebih banyak dalam mendidik anak dan bisa dengan intens mengamati pada semua tahapan tumbuh kembang anak.
Ibu yang berpendidikan punya cara, pemahaman, dan sudut pandang yang lebih bijak, mampu merespon pertanyaan anak dengan cerdas.
Kemudian, ibu yang berpendidikan akan menjadi teladan bagi anak-anaknya untuk juga berhasil dalam pendidikan dengan menerapkan gaya hidup sehat dan produktif.
Ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas, yang pada gilirannya nanti anak-anak ini menjadi aset berharga pada era Indonesia Emas dua dekade lagi.
Ibu lebih banyak pengaruhnya kepada anak ketimbang ayah, ini yang berlaku pada umumnya. Makanya, tanpa bermaksud diskriminatif, ibu bekerja yang resign lebih pas ketimbang ayah.
Dengan demikian, si ayah bisa tenang dalam bekerja dan besar harapan kariernya akan mulus. Maka, di balik lelaki sukses, ada peran perempuan yang tak kalah penting di belakangnya.
Tentu, ada pengecualian. Kalau setelah ditimbang-timbang dan disepakati oleh suami istri agar yang resign adalah suami, mungkin karena karier istri jauh lebih menjanjikan, juga oke-oke saja.
Jangan lupa, di era teknologi canggih saat ini, siapapun yang resign, toh bisa bekerja lagi di bidang tertentu yang memungkinkan dilakukan dari rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H