Gelar sarjana pada umumnya diartikan sebagai modal untuk mencari pekerjaan. Ini tidak salah, meskipun sebenarnya manfaat jadi sarjana jauh lebih luas.
Masalahnya, bagi mereka yang bukan berasal dari keluarga kaya, tidak gampang untuk bisa mengikuti kuliah di kampus yang diidamkannya.
Kuliah itu mahal, dan semakin mahal lagi dengan hebohnya berita kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Memang, Mendikbudristek telah membatalkan kenaikan UKT untuk tahun ini setelah gelombang demo di berbagai kampus tak terbendung lagi.
Tapi, biaya kuliah tak semata UKT. Banyak buku dan peralatan yang perlu dibeli. Apalagi, bagi anak kuliahan yang perlu mengeluarkan uang untuk biaya kos-kosan.
Meskipun gelar sarjana bisa menjadi modal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi karena terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, membuat cukup banyak sarjana yang menganggur.
Nah, bayangkan ketika seorang ibu muda yang baru melahirkan anak, memilih untuk resign dari pekerjaannya, agar bisa fokus mengurus anak.
Padahal kariernya lagi bagus-bagusnya, dan ia juga menyandang gelar magister manajemen dari PTN terkemuka.
Mungkin akan muncul pendapat yang menyayangkan, buat apa capek-capek kuliah dan mengeluarkan uang banyak kalau akhirnya menjadi ibu rumah tangga.
Namun, tentu juga ada pendapat sebaliknya, yang mengatakan tak ada yang sia-sia bagi seorang sarjana yang full time jadi ibu rumah tangga.