Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Agar Anak Disiplin, Tak Perlu Gunakan Pola Asuh Otoriter

28 September 2024   06:56 Diperbarui: 28 September 2024   07:05 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah yang hanya memerintah, tak mau mendengarkan kata anak, mungkin cocok di zaman dahulu kala, tapi untuk diterapkan di zaman sekarang, sudah tidak efektif lagi.

Apa yang dialami oleh generasi terdahulu sangat berbeda dengan yang dialami anak-anak zaman sekarang, antara lain karena pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Artinya, anak punya banyak referensi untuk melakukan validasi apakah yang dikatakan orang tuanya betul atau tidak.

Tidak bisa lagi seorang ayah mengatakan bahwa: "dulu waktu ayah seumur kamu, ayah tidak pernah membantah kata orang tua."

Perkembangan teknologi telah mengubah banyak hal, termasuk cara berinteraksi dengan anak dan juga pola asuh yang sebaiknya dilakukan. Mau tak mau orang tua perlu menyesuaikan diri.

Para pakar parenting sepakat tentang pentingnya pola asuh anak, karena memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap tumbuh kembang anak. 

Pola asuh yang diterapkan dengan cara yang tepat, diyakini akan memberi dampak yang baik bagi kepribadian anak, begitu pula sebaliknya.

Penting bagi orang tua untuk memastikan bahwa mereka telah dan akan terus menerapkan pola asuh yang mampu membuat anak berkembang secara sehat, baik secara fisik, mental, intelektual, dan juga spiritual.

Dulu, memang ada semacam pendapat umum, agar anak bisa disiplin, orang tua harus menerapkan pola asuh yang ketat, yang cenderung keras, atau sebut saja pola yang otoriter.

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter memiliki kontrol sangat tinggi terhadap anak, sedangkan tingkat responsifnya sangat rendah. 

Pola asuh ini hanya mengutamakan komunikasi satu arah melalui berbagai larangan yang harus dihindari dan perintah yang harus dilakukan anak. 

Tak jarang orang tua dengan pola asuh otoriter memberikan hukuman atau menerapkan disiplin keras untuk mengendalikan perilaku anak, seperti memberikan hukuman fisik. 

Makanya, dulu ada rotan atau lidi yang lazim disiapkan orang tua di rumah, sebagai senjata yang akan digunakan untuk memukul kaki atau tangan anak yang tidak mematuhi aturan dari orang tua.

Tentu, hal tersebut akan membekas dalam ingatan si anak, sehingga memengaruhi kesehatan mentalnya, bahkan bisa mengalami trauma.

Beberapa dampak dari pola asuh orang tua yang otoriter terhadap anak adalah sebagai berikut.

Pertama, anak menjadi tidak kreatif untuk memulai hal baru, karena selalu takut salah. Kalau nanti sudah bekerja, ia hanya menunggu instruksi atasan

Kedua, anak tidak mandiri karena sulit mengambil keputusan sendiri. Bahkan, jangankan mengambil keputusan, sekadar mengemukakan pendapat saja tidak berani.

Ada hambatan mental yang membuat si anak tidak berani, yang sekaligus membuat anak merasa rendah diri. 

Apa artinya anak patuh dan disiplin, tapi seolah-olah tidak punya semangat, tidak punya "jiwa" yang bergelora?

Oleh karena itu, perlu penerapan pola asuh otoritatif atau yang dikenal juga dengan pola asuh demokratis. Jenis pengasuhan ini mengutamakan komunikasi dua arah antara orang tua dan anak. 

Dengan pola asuh otoritatif, orang tua selalu mendukung, responsif, mendengarkan pendapat anak, dan menanamkan kesadaran pada anak dengan menjelaskan setiap aturan secara bijak.

Menerapkan pola asuh otoritatif berarti memberikan ruang bagi anak dan orang tua untuk lebih banyak berdiskusi satu sama lain. 

Namun, bukan berarti gaya otoritatif tidak bisa mendisiplinkan anak, karena di sisi lain orang tua juga tetap memberikan batasan yang tegas dengan alasan yang jelas.

Tujuan utama pola asuh otoritatif ini adalah mendorong anak untuk bersikap mandiri, dan mampu berkomunikasi serta bekerjasama dengan orang lain. 

Hal itu akan menjadi modal bagi si anak kelak saat sudah berkarier di bidang apapun, karena anak dapat mengendalikan diri dengan baik, punya keterampilan sosial, dan kesehatan mental yang baik.

Anak yang mampu bersikap disiplin karena kesadaran dari hatinya sendiri, akan menuai kesuksesan. Contohnya, dimulai dengan rajin bangun subuh untuk salat bagi yang muslim.

Kalau anak bersikap disiplin karena terpaksa, justru berbahaya. Ketika orang tua tidak ada, malah si anak bisa melakukan hal yang negatif.

Zaman dulu, ketika belum ada teknologi canggih, pola otoriter relatif berhasil mendisiplinkan anak, karena anak tak punya informasi pembanding. Tak ada godaan untuk main hape.

Tapi, di era sekarang, mendisiplinkan anak tak perlu lagi pakai pola otoriter.
 
 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun