Perkenankan saya untuk menuliskan pengalaman saya ketika mengikuti program magister manajemen di sebuah perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa, di akhir dekade 1990-an.
Alhamdulillah, saya ikut program S2 tersebut karena lolos seleksi dari sekian banyak pelamar. Para pelamar itu, seperti juga saya, adalah pekerja di sebuah bank papan atas nasional.
Jadi, selama kuliah saya dibebaskan dari pekerjaan. Pekerjaannya ya kuliah itu. Gaji bulanan tetap hidup, sementara itu semua biaya kuliah termasuk pembelian buku-buku dibayarkan kantor.
Jika saya tidak lolos seleksi, mungkin saya akan mengambil program kuliah S2 malam atau program kuliah di Sabtu-Minggu. Itupun dengan biaya sendiri dan tetap bekerja secara normal.
Kenapa demikian menggebu-gebu minat pekerja di bank tersebut untuk kuliah S2? Apakah mereka memang haus ilmu pengetahuan?
Bukan, mereka (termasuk juga saya) tidaklah se-idealis itu. Motivasi kuliah terutama karena berharap akan jadi faktor pendukung untuk pengembangan karier ke depan.
Apalagi, di waktu itu ada kebijakan di perusahaan tersebut, bagi pekerja yang hanya berijazah S1, kariernya mentok di level kepala bagian (di kantor pusat dan kantor wilayah) atau kepala cabang.
Maka, mendadak sontak banyak pekerja yang mengambil kuliah dengan biaya sendiri setelah jam kerja selesai atau di luar hari kerja.
Itu pun jika lulusan S2 dari perguruan tinggi yang kualitasnya diragukan, oleh pihak manajemen tidak diakomodir sebagai pekerja yang dipertimbangkan untuk dipromosikan.
Padahal, saat itu ada seorang direktur yang terkenal pintar, meskipun hanya lulusan SMEA (setingkat SMA), namun beliau rajin mengikuti berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri.