Ada lagi judul lain yang lebih kecil "Sawah dan Laut Bukan Lagi Jadi Pilihan". Tentu, ini terkait soal kegagalan kita dalam membangun regenerasi petani dan nelayan.
Artinya, ketika petani dan nelayan yang berusia lanjut dipanggil Tuhan, anak muda yang menggantikannya tidak ada. Lalu, bagaimana kita mau mencapai target swasembada pangan?
Ketahanan pangan nasional jangan hanya sekadar jargon. Ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau secara merata di seluruh tanah air perlu diwujudkan secara nyata.
Nah, ketersediaan pangan itu seyogyanya berasal dari produksi dalam negeri. Maka, jumlah petani dan luas lahan pertanian menjadi faktor penentu.
Kenapa anak muda tidak tertarik untuk jadi petani dan nelayan? Jika dibaca sejumlah referensi, akan didapat beberapa hal berikut ini.
Pertama, pendapatan petani yang relatif kecil diduga menjadi penyebab utama. Di lain pihak biaya produksi seperti untuk membeli benih dan pupuk relatif mahal.
Kedua, terlalu besar risikonya seperti produk pertanian yang membusuk bila tidak segera terjual, risiko kegagalan panen karena faktor cuaca, dan sebagainya.
Ketiga, profesi petani dinilai tidak bergengsi terutama bagi anak muda yang sudah menamatkan sekolah lanjutan, apalagi yang sudah sarjana.
Disebut tidak bergengsi karena kurang dihargai oleh masyarakat ketimbang profesi orang kantoran, guru, perawat, teknisi, dan sebagainya.
Keempat, jika profesi lain ada yang namanya pengembangan karier, untuk petani sulit terwujud. Jarang terdengar petani kecil yang "naik pangkat" jadi petani menengah dan selanjutnya petani besar.
Jika regenerasi petani tidak berjalan, apa dampaknya bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan? Jelas, produktivitas sektor pertanian menurun.