Anda pernah mendengar lagu yang dinyanyikan almarhum Bing Slamet dengan judul "Nonton Bioskop"? Kalau pernah, usia Anda sudah bisa saya tebak, hehe.
Ya, lagu Nonton Bioskop itu sering saya dengar yang dipancarkan oleh radio transistor yang ada di rumah saya, sewaktu saya kecil di awal dekade 1970-an.
Berikut ini saya kutipkan lirik lagu tersebut, khusus untuk bait pertama saja, karena ada hubungannya dengan topik yang saya tulis.
Malam minggu, aye pergi ke bioskop
Bergandengan, ama pacar nonton koboi
Beli karcis, tau-tau kehabisan
Jaga gengsi, terpaksa beli catutan.
Ada dua kata yang ingin saya elaborasi, yakni "karcis" dan "catutan". Dulu, memang ada profesi tidak resmi yang disebut dengan tukang catut karcis bioskop.
Karcis itu maksudnya tiket, inilah istilah yang digunakan waktu dulu. Istilah karcis konon berasal dari Bahasa Belanda.
Bioskop model dulu berbeda jauh dengan bioskop era sinepleks sekarang ini. Kalau sekarang bioskop berada dalam mal, dulu bioskop merupakan gedung besar yang berdiri sendiri.
Maka, jangan bayangkan mereka yang akan menonton film, membeli tiket bioskop seperti di zaman canggih sekarang, yang bisa dipesan secara online.Â
Kalaupun dibeli di counter bioskop, tak akan ada tukang catut. Tiket dibeli dari petugas berseragam. Jika kehabisan tiket, dipersilakan membeli untuk jam tayang selanjutnya atau memilih film lain.
Lagi pula, di bioskop sekarang, satu bioskop punya beberapa layar, sehingga pada waktu bersamaan ada sekian film yang serentak diputar. Tentu, pilihan bagi penonton jadi semakin banyak.
Pada bioskop era jadul, di satu bioskop hanya ada satu layar. Jadwal pemutaran hanya 2 kali dalam sehari, yakni pukul 19.00 WIB dan 21.00 WIB.
Tapi, pada hari Sabtu malam Minggu, ada pertunjukan tengah malam (midnight show), yang biasanya disukai pasangan yang lagi pacaran.
Lalu, di hari Minggu ada pertunjukan siang hari, yakni pada pukul 12.00 WIB dan biasanya memutar film yang berkategori  untuk penonton "semua umur".
Seperti apa cara membeli tiket waktu dulu? Penonton harus membeli secara langsung kepada petugas yang ada di loket kecil di sudut bagian depan bioskop.
Nah, kerja tukang catut adalah memborong karcis saat tiket baru dijual di loket. Jika modal tukang catut lumayan besar, ia mampu membeli puluhan tiket.
Kemudian, tiket tersebut dijual lagi di saat film akan diputar beberapa menit lagi. Ketika itu, jika film yang diputar banyak penggemarnya, karcis di loket sudah habis.
Tukang catut menjual tiketnya secara berbisik-bisik kepada penonton yang baru datang. Biasanya dengan kode-kode tertentu, penonton langsung paham maksud tukang catut.
Tentu, agar dapat untung besar, si tukang catut menjual tiket dengan harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga resmi di loket.
Untuk film yang akan diputar malam hari, sorenya tukang catut sudah membeli ketika loket baru dibuka. Film yang diperkirakan akan banyak penonton, akan diborong tukang catut.
Namun, pekerjaan tukang catut sebetulnya bersifat spekulatif alias untung-untungan. Jika salah prediksi, si tukang catut bisa rugi.Â
Bila bioskop terlihat penuh, tapi ada satu atau dua baris di bagian belakang yang kosong, itu pertanda karcis yang di tangan tukang catut tidak terjual.
O ya, di bioskop era sekarang tidak ada pembagian kelas penonton. Dulu, ada kelas-kelasnya, misalnya kursi kelas I dan kelas II.
Kelas I dimulai dari kursi baris paling belakang hingga sekitar dua pertiga kapasitas bioskop. Sisanya, yakni di bagian depan disebut kelas II.
Jangan bayangkan bioskop jadul pakai kursi empuk seperti sekarang. Lazimnya di waktu dulu, kursi bioskop adalah kursi rotan yang terkadang ada kutu busuk yang gigitannya amat pedih.
Bahkan, untuk penonton kelas 2, yang tersedia hanya berupa bangku papan memanjang. Tapi, ketika itu penonton tetap hepi-hepi saja.
Begitulah, sedikit nostalgia tentang bioskop era jadul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H