Kita di Indonesia sangat beruntung dengan begitu beragamnya khazanah kuliner tradisional di berbagai penjuru tanah air, yang hingga sekarang masih disukai masyarakat.
Tak heran, meskipun di kota besar semakin banyak saja gerai makanan asal luar negeri, seperti dari AS, Eropa, Jepang, Korea, dan Thailand, restoran khas Indonesia tetap berkembang.
Di antara sekian banyak jenis makanan tradisional, rumah makan Padang menjadi salah satu yang merajai dunia kuliner di negara kita.
Sebetulnya, nama yang lebih tepat adalah rumah makan Minang, mengingat Padang hanya salah satu dari belasan kota di Sumatera Barat, tempat asal etnis Minang.
Tapi, masyarakat terlanjur menyebutnya sebagai rumah makan Padang, meskipun pengelolanya berasal dari Bukittinggi, Payakumbuh, Pariaman, Solok, dan kota lain di Sumbar.
Budaya merantau yang sangat kuat bagi orang Minang telah membuat ruman makan Padang juga menyebar di mana-mana, bukan saja di seluruh Indonesia, tapi juga di luar negeri.
Betul, makanan Minang paling terkenal adalah rendang. Setelah itu mungkin dendeng balado, gulai tunjang (kikil), dan sebagainya.
Satu lagi, menurut saya, ayam pop juga termasuk top hit. Paling tidak, bagi saya sendiri dan beberapa teman yang sering makan siang bareng, ayam pop menjadi pilihan utama.
Sebagai orang Minang, seingat saya, ayam pop merupakan kreasi baru dan bukan masakan yang telah turun menurun sejak beberapa generasi sebelumnya seperti rendang.
Di masa kecil saya di Payakumbuh, Sumbar, pada akhir dekade 1960-an, ketika ayah membeli lauk di Rumah Makan Asia Baru (ketika itu paling terkenal di sana), belum ada menu ayam pop.
Ketika pertama kali menjajal ayam pop, seingat saya di sekitar tahun 1981-1982 di Rumah Makan Simpang Raya, di pusat kota Padang.
Kemudian, ketika saya hijrah jadi warga Jakarta sejak 1986, ayam pop sudah menjadi menu yang lazim tersedia di rumah makan Padang yang besar (kalau yang kecil, belum tentu ada).
Kenapa dinamakan ayam pop? Mari lihat dulu sejarahnya, karena penemuan ayam pop relatif belum terlalu lama, maksudnya belum berabad-abad seperti rendang.
Ada dua versi asal usul ayam pop. Menurut stekom.ac.id, ayam pop berasal dari Restoran Family Benteng Indah di Bukittinggi. Restoran ini berdiri sejak 1963.
Awalnya, restoran hanya menjual ayam goreng biasa. Namun, suatu kali karena banyaknya pesanan, pemilik restoran merebus ayam dalam jumlah banyak.
Rebusan dalam santan itu dibumbui cincangan bawang putih, kemudian digoreng sebentar agar pelanggan tidak menunggu lama.
Ternyata, hidangan tersebut menjadi populer karena rasanya yang lebih gurih dan aromanya khas dari air kelapa.
Warnanya pun khas, yakni putih pucat mirip dengan ayam hainan yang merupakan ayam rebus khas Tionghoa.
Versi kedua, ayam pop mulai populer di Sumbar pada tahun 1976 dan pelopornya adalah Rumah Makan Simpang Raya.
Hingga sekarang Simpang Raya menggunakan slogan "Istana Ayam Pop" di semua restorannya.
Jadi, kembali ke soal nama, konon karena di dekade 1970-an istilah musik bergenre populer (disingkat dengan pop) lagi digandrungi masyarakat.
Karena masyarakat juga menggandrungi ayam Hainan ala Padang itu, akhirnya disebut sebagai ayam pop.
Mengutip antaranews.com, bumbu yang digunakan untuk ayam pop adalah bawang putih, bawang merah, jeruk nipis, daun salam, lengkuas, dan garam.
Bagi Anda yang belum pernah mencicipi ayam pop, coba datangi rumah makan Padang terdekat dari tempat tinggal Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H