Ini kisah tentang anak dari salah seorang teman saya yang tinggal di Jakarta. Dalam berburu bangku kuliah di perguruan tinggi yang diidamkannya, ternyata cukup berliku.
Mungkin karena ayahnya seorang dokter spesialis penyakit dalam, si anak pun, sebut saja namanya Sri, juga bercita-cita menjadi seorang dokter.
Untuk itu, tentu Sri harus rajin belajar. Agar bisa lolos seleksi masuk fakultas kedokteran, tingkat persaingannya sangat ketat.
Betul juga, meskipun Sri termasuk bagus nilai rapornya di SMA, pada tahun 2022 lalu, ikut tes di 3 perguruan tinggi berbeda (semuanya fakultas kedokteran), tak satupun yang nyangkut.
Alhasil, Sri memilih gap year, dalam arti mengambil jeda satu tahun sambil mempersiapkan diri untuk tes lagi di tahun 2023.
Belajar dari kegagalan tahun lalu, tahun ini Sri ikut seleksi di lebih banyak perguruan tinggi, termasuk yang berstatus swasta.
Kebetulan beberapa fakultas kedokteran negeri yang membuka program mandiri, jadwal tes masuknya berbeda-beda, sehingga memudahkan bagi Sri dalam mengatur jadwal tes.
Kemudian, untuk berjaga-jaga, sewaktu ikut program SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri), Sri juga memilih satu fakultas non kedokteran (bukan pilihan pertama).
Dari hasil SBMPTN tersebut, justru Sri dinyatakan lulus untuk yang bukan kedokteran, yakni di Program Studi Akuntansi Universitas Andalas (Unand) Padang.
Nah, pas di batas hari terakhir untuk mendaftar bagi calon mahasiswa yang lulus, ayah Sri yang teman saya itu sengaja menelpon saya untuk minta pendapat.
Teman saya itu tahu kalau saya dulunya kuliah di akuntansi, dan bertanya tentang prospek profesi akuntan di masa 5 tahun ke depan.
Saya bilang, akuntan masa kini harus dibekali dengan penguasaan teknologi, karena ada pesaing baru yang disebut dengan artificial intellegence (AI).
Sepanjang seorang akuntan mengikuti perkembangan teknologi, insya Allah masa depannya cerah. Saya katakan bahwa perusahaan apapun dan organisasi apapun tetap butuh akuntan.
Selama ada urusan kas masuk dan kas keluar, tentu perlu dibuat laporan keuangan. Dan ini domain-nya akuntan.
Kalaupun nanti proses penyusunan laporan dilakukan AI, sentuhan akhirnya atau analisis yang lebih rincinya tetap dilakukan akuntan.
Mendengar penjelasan saya, ayah Sri setuju anaknya kuliah di akuntansi dan mambayar Rp 20 juta sesuai pengumuman di sana.
Saya tidak bertanya apakah yang Rp 20 juta itu uang pangkal atau uang kuliah per semester. Dugaan saya semacam uang pangkal.
Pembicaraan saya dengan teman itu saya akhiri dengan ucapan selamat, sambil mendoakan agar putrinya sukses dalam menempuh studi.
Ternyata, kisah Sri berburu bangku kuliah belum berakhir. Ketika 2 minggu kemudian, saya bertanya ke ayahnya, apakah Sri sudah dapat tempat kos di Padang, saya dapat cerita baru.
Rupanya, ketika si ayah membayar uang Rp 20 juta di atas, Sri masih menunggu pengumuman dari 2 universitas negeri dan 1 swasta (semuanya fakultas kedokteran).
Jadi, uang Rp 20 juta merupakan upaya berjaga-jaga saja, sebagai jalan terkahir yang ditempuh, bila gagal masuk salah satu dari 3 fakultas kedokteran yang ditunggu.
Alhamdullliah, Sri dinyatakan lulus masuk fakultas kedokteran dari perguruan tinggi swasta yang sudah lumayan terkenal.
Karena memang sejak SMP sudah bercita-cita ingin menjadi dokter, Sri memilih meninggalkan Akuntansi Unand. Uang Rp 20 juta pun hangus, tak bisa dikembalikan.
Begitulah memang risikonya. Apakah Sri merasa rugi? Tentu saja ia rugi. Tapi, itulah harga yang harus dibayar agar gap year-nya tidak diperpanjang setahun lagi.
Terkadang masuk perguruan tinggi seperti berspekulasi saja. Bagi ayah Sri karena punya uang, mungkin tidak sayang uang Rp 20 juta melayang.
Tapi, dugaan saya, tak sedikit lulusan SMA yang memasang strategi seperti Sri, yakni mengikuti banyak tes untuk masuk ke perguruan tinggi.
Bagi orang tua yang kondisi ekonominya pas-pasan, jelas akan terpukul bila uangnya hangus seperti kasus Sri di atas.
Ada baiknya, pihak kampus memperkenankan untuk mengembalikan uang pangkal, jika si calon mahasiswa membatalkan pendaftarannya.
Kalau mau ditahan, katakanlah sekadar pengganti biaya administrasi, potongan sebesar 10 persen masih cukup fair.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H