Teman saya itu tahu kalau saya dulunya kuliah di akuntansi, dan bertanya tentang prospek profesi akuntan di masa 5 tahun ke depan.
Saya bilang, akuntan masa kini harus dibekali dengan penguasaan teknologi, karena ada pesaing baru yang disebut dengan artificial intellegence (AI).
Sepanjang seorang akuntan mengikuti perkembangan teknologi, insya Allah masa depannya cerah. Saya katakan bahwa perusahaan apapun dan organisasi apapun tetap butuh akuntan.
Selama ada urusan kas masuk dan kas keluar, tentu perlu dibuat laporan keuangan. Dan ini domain-nya akuntan.
Kalaupun nanti proses penyusunan laporan dilakukan AI, sentuhan akhirnya atau analisis yang lebih rincinya tetap dilakukan akuntan.
Mendengar penjelasan saya, ayah Sri setuju anaknya kuliah di akuntansi dan mambayar Rp 20 juta sesuai pengumuman di sana.
Saya tidak bertanya apakah yang Rp 20 juta itu uang pangkal atau uang kuliah per semester. Dugaan saya semacam uang pangkal.
Pembicaraan saya dengan teman itu saya akhiri dengan ucapan selamat, sambil mendoakan agar putrinya sukses dalam menempuh studi.
Ternyata, kisah Sri berburu bangku kuliah belum berakhir. Ketika 2 minggu kemudian, saya bertanya ke ayahnya, apakah Sri sudah dapat tempat kos di Padang, saya dapat cerita baru.
Rupanya, ketika si ayah membayar uang Rp 20 juta di atas, Sri masih menunggu pengumuman dari 2 universitas negeri dan 1 swasta (semuanya fakultas kedokteran).
Jadi, uang Rp 20 juta merupakan upaya berjaga-jaga saja, sebagai jalan terkahir yang ditempuh, bila gagal masuk salah satu dari 3 fakultas kedokteran yang ditunggu.