Hapus tagih adalah tahap lanjut dari hapus buku. Ketika upaya menagih betul-betul telah mentok karena berbagai alasan, maka dilakukan hapus tagih.
Secara lebih teknis, semua bank sesuai regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga untuk memenuhi standar akuntansi, wajib membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
CKPN tersebut berfungsi sebagai "celengan" yang besarnya sejalan dengan besarnya kredit yang menunggak di suatu bank.
Jadi, semakin besar jumlah kredit macet, harus semakin besar pula CKPN yang wajib dibentuk bank tersebut.
Nah, ketika manajemen bank memutuskan menghapus buku kredit atas nama nasabah yang sudah sangat lama menunggak, maka penghapusan tersebut dilakukan dengan menggunakan CKPN.
Artinya, saldo pinjaman yang dihapus buku akan hilang dari daftar aset bank, bersamaan dengan berkurangnya CKPN sebesar kredit yang dihapus buku.
Namun demikian, daftar peminjam yang telah dihapus buku tetap muncul secara off balance sheet (di luar neraca), sebagai dasar bagi bank untuk tetap menagih.
Ketika nantinya pihak manajemen bank memutuskan untuk dihapus tagih, baru penagihan ke nasabah dihentikan.
Bagi bank swasta, kondisi di atas sudah berlangsung secara alami dan tak ada masalah. Bagi bank milik negara, ceritanya jadi lain. Hapus buku masih bisa, tapi hapus tagih bisa dinilai merugikan negara dan rawan tercampur dengan korupsi.
Saat ini ada 4 bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Negara, dan Bank Mandiri.
Ada pula Bank Syariah Indonesia yang merupakan anak perusahaan dari bank-bank BUMN di atas, di mana Bank Mandiri sebagai pemegang saham mayoritas.