Karena relatif baru, rute Pelita Air masih terhitung sedikit, yakni baru ke beberapa kota di Jawa, Sumatera, dan Bali.
Konon kabarnya, Pelita Air disiapkan Kementerian BUMN secara khusus, sebagai upaya berjaga-jaga sekiranya restrukturisasi utang Garuda Indonesia menemui jalan buntu.
Syukurlah, Garuda Indonesia sekarang sudah membaik kondisi kesehatan keuangannya, malah sudah membukukan laba yang besar.
Hanya saja, laba Garuda bukan dalam arti punya kas yang memadai, tapi karena utangnya yang berhasil direstrukturisasi, sesuai kesepakatan dengan krediturnya.
Kembali ke perjalanan saya baru-baru ini, ternyata sudah susah mencari harga tiket pesawat Jakarta-Padang dan Jakarta-Pekanbaru yang di bawah Rp 1 juta.
Padahal, seingat saya, hingga kondisi sebelum pandemi, masih ada maskapai LCC dari Jakarta ke Padang atau Pekanbaru yang bertarif sekitar Rp 600.000-700.000.
Jadi, sekarang ini, yang disebut sebagai pesawat bertarif murah pun, menurut saya sudah tidak lagi murah.
Memang, bila saya memesan tiket ke Padang atau Pekanbaru untuk beberapa hari mendatang yang bukan di hari sibuk (Jumat sampai Senin adalah hari padat penumpang), masih ada yang bertarif Rp 990.000.
Tapi, bagi saya tarif yang hanya beberapa ribu rupiah di bawah Rp 1 juta, saya sudah anggap sebagai Rp 1 juta.
Tarif termurah yang tak lagi murah itu dipasang oleh maskapai Pelita, Lion, dan Super Jet Air. Sedangkan Batik dan Citilink memasang tarif terbawah di kisaran Rp 1,1-1,3 juta.
Garuda sepertinya menghindar dari perang tarif, dan nyaman sendirian memasang tarif terbawah sekitar Rp 1,7-1,9 juta.