Bahwa sejak beberapa tahun terakhir ini banyak sekali media massa dalam format cetak konvensional mengalami kebangkrutan, tentu sudah sama-sama kita ketahui.
Tak terhitung lagi koran dan majalah yang memilih menghentikan kegiatan operasionalnya. Tapi, bukan berarti mereka jadi mati sama sekali.
Soalnya, sebagian dari media cetak yang tidak terbit lagi itu, masih eksis dalam format media dalam jaringan (daring).
Memang, mungkin banyak orang yang tak lagi mau mengeluarkan uang untuk membeli koran dan majalah. Akibatnya, kios koran atau pengecer di jalanan pun menghilang.
Tapi, persoalannya bukan semata-mata karena tak mau membeli. Harga koran sebetulnya relatif murah, karena jauh di bawah harga sebungkus rokok.
Terbukti, media cetak yang bersifat gratis pun tak lagi dilirik. Artinya, masyarakat sudah beralih dari kebiasaan membaca media cetak ke media daring atau media digital.
Memang ada media cetak yang gratis? Bagi yang jeli mengamati, tentu sudah tahu betapa banyaknya media cetak yang gratis.
Dulu, ada semacam majalah tipis yang terbit seminggu sekali yang berisi segala sesuatu yang terjadi di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
Juga ada semacam tips dalam berbagai hal yang berguna untuk kehidupan sehari-hari, yang ditulis di majalah yang dibagikan ke rumah-rumah di Tebet itu.
Selain itu, majalah tersebut tersedia di pojok depan beberapa supermarket di kawasan Tebet. Banyak pengunjung yang mengambil karena informasinya dinilai bermanfaat.
Keuntungan majalah gratis diharapkan dari pemasangan iklan. Tentu iklan yang masuk kebanyakan yang relevan untuk warga Tebet.
Banyak pula majalah gratis yang memang tidak diniatkan untuk menjaring iklan. Majalah seperti itu contohnya adalah majalah internal dari suatu perusahaan.
Jangan dikira majalah internal itu tampilannya apa adanya. Rata-rata mutu kertas dan cetakannya tak kalah dengan majalah komersial.Â
Ketebalan media internal perusahaan juga relatif sama dengan majalah komersial, yakni sekitar 60-80 halaman.Â
Bahkan, media gratis yang dulu rutin diterbitkan oleh banyak maskapai penerbangan (inflight magazine), terkesan lux dengan tebal di atas 100 halaman.
Sekarang, banyak maskapai yang tak lagi menyediakan majalah seperti itu, kecuali dalam bentuk digital.
Sebuah bank besar dengan karyawan puluhan ribu orang, dulu pernah punya 3 versi media internal.
Pertama, berupa majalah yang bersifat umum berisi profil salah seorang pejabatnya, profil salah seorang pegawai dan profil salah satu nasabahnya, termasuk liputan antar kantor cabang.
Majalah ini diterbitkan sebulan sekali oleh Divisi Komunikasi Publik dan didistribusikan ke semua unit kerjanya di seluruh Indonesia. Di ruang tunggu nasabah, majalah ini selalu tersedia.
Para penulis umum sering mengirimkan naskah ke majalah tersebut dan diberi honor yang sebanding dengan honor menulis opini di koran cetak.
Tapi, mayoritas penulis opini memang dari karyawan sendiri dan tetap diberi honor. Topiknya tidak khusus perbankan saja, tapi banyak juga yang bersifat umum.
Kedua, berupa majalah yang sifatnya serius, khusus memuat hasil penelitian dari Divisi Riset dan Perencanaan Strategis.Â
Terbitnya sekali tiga bulan. Penulis dari divisi lain pun tetap diterima asal tulisannya dinilai redaksi sebagai tulisan ilmiah dan dominan mengandung unsur analisis.
Ketiga, majalah lifestyle yang diterbitkan Divisi Wealth Management dalam format superlux setiap triwulan, dibagikan khusus bagi nasabah priority banking dan private banking.
Apa yang terjadi sekarang? Ternyata ketiga media itu semuanya sudah KO (knock out) alias tumbang, mengikuti jejak media cetak komersial. Senjakala media cetak melanda media internal perusahaan.
Jelas bukan karena rugi yang membuat tumbangnya majalah cetak internal perusahaan. Soalnya, media itu didistribusikan secara gratis dan sudah ada anggaran biayanya.
Alasan manajemen bank tak lagi mencetak majalah-majalah tersebut, diduga karena memang tak banyak lagi karyawan atau pelanggan yang membutuhkannya.
Memang, majalah-majalah tersebut masih bertahan dengan versi digital, namun karyawan atau nasabah yang membaca relatif sedikit. Tapi, cara ini dipertahankan karena jauh lebih hemat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H