Tahun 2022 yang lalu, meskipun sebetulnya ketika itu pandemi masih menjadi ancaman yang membuat lesunya perekonomian nasional, tapi ternyata menjadi tahun yang cerah bagi BUMN.
Betapa tidak, sejarah baru dicetak oleh sejumlah perusahaan yang berada di bawah supervisi Kementerian Badan Usaha Milik Negara tersebut.
Sejarah dimaksud dilihat dari perolehan laba semua BUMN sebesar Rp 303,7 triliun sepanjang tahun 2022, mengalami peningkatan lebih dua kali lipat ketimbang tahun 2021 (bumn.info, 13/3/2023).
Dengan laba sebesar itu, BUMN menyetor ke kas negara sebagai dividen sebesar Rp 80,2 triliun. Ini angka setoran dividen tahunan terbesar sepanjang sejarah.
Pencetak laba terbesar masih didominasi bank-bank BUMN, yakni Bank Rakyat Indonesia sebesar Rp 51,4 triliun, Bank Mandiri Rp 41,2 triliun, dan Bank Negara Indonesia Rp 18,31 triliun.
3 bank BUMN tersebut di atas selama ini memang mendominasi perbankan nasional bersama sebuah bank milik swasta, Bank Central Asia (BCA).
Ada satu BUMN besar lagi yang bukan bergerak di bidang perbankan yang juga punya tradisi mencetak laba besar, yakni Telkom, tahun 2022 lalu meriah untung Rp 20,75 triliun.
Hanya saja, jika 3 bank BUMN keuntungannya pada 2022 naik drastis dibanding 2021, Telkom justru mengalami penurunan sebesar 16,2 persen.
Tapi, yang cukup mengagetkan (dalam arti positif), maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang selama ini "berdarah-darah", berkat restrukturisasi utang-utangnya, mulai menuai untung.
Tak tanggung-tanggung, perolehan laba Garuda di tahun 2022 tercatat sangat besar, yakni Rp 55,9 triliun. Tapi, Garuda masih belum bisa menyetor dividen ke pemerintah.
Soalnya, laba Garuda itu tak berarti punya dana yang melimpah. Hanya saja, secara akuntansi terhadap utang yang direstrukturisasi diperlakukan sebagai pendapatan perusahaan.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dulu sering mengalami kerugian, pada tahun 2022 membukukan laba sebesar Rp 14,4 triliun.
Pertamina tak mau ketinggalan dengan meraih laba tahunan terbesar sepanjang sejarah perusahaan minyak itu, yakni sebesar Rp 56,6 triliun selama tahun 2022.
Jadi, PLN dan Pertamina yang sebagian produknya bertarif murah karena disubsidi pemerintah, tetap mampu berkinerja gemilang.
Tentu, keberhasilan di semua perusahaan tersebut tidak semata karena kehebatan Erick Thohir yang diamanahkan menakhodai Kementerian BUMN.
Oleh karena itu, terhadap BUMN tertentu yang bermasalah, tentu juga kesalahan tak bisa ditimpakan pada Erick semata-mata.
Ingat, dari 41 BUMN, masih ada 9 BUMN yang merugi pada tahun 2022 lalu. Yang lebih parah, ada pula beberapa BUMN yang dilanda kasus korupsi.
Kasus terbaru yang banyak diberitakan media massa adalah korupsi di PT Waskita Karya, sebuah BUMN di sektor konstruksi.
Sebelum itu, yang menghebohkan adalah korupsi di Jiwasraya dan Asabri (keduanya di bidang asuransi).Â
Jadi, seharusnya laba BUMN tersebut di atas jauh lebih dahsyat jika tak ada kasus-kasus  korupsi di atas.
Erick Thohir pernah mengibaratkan bahwa yang dilakukannya terhadap semua BUMN tersebut sebagai "mengajar gajah menari"
Maksudnya, banyak perusahaan BUMN yang ukurannya besar, sehingga disebut sebagai "gajah", seperti Pertamina, PLN, Telkom, dan sebagainya.
Dengan ukuran besar, maka "gajah" akan lamban bergerak, padahal sebagai sebuah perusahaan seharusnya bergerak lincah seperti seorang penari.
Dulu, banyak strategi yang bagus, tapi hanya di atas kertas saja, karena tidak dieksekusi dengan baik. Makanya, Erick Thohir memberi penekanan pada soal eksekusi.
Strategi yang eksekusional adalah perkalian dua sumbu aksis, kata Erick Thohir (Merdeka.com, 3/3/2023).
Sumbu X adalah kenali misi atau tujuan, kenali inti masalah, dan eksekusi. Sumbu Y adalah kecepatan, keakuratan, dan keberhasilan.
Nah, dengan eksekusi ala gajah menari itulah, sekarang beberapa BUMN sudah lihai menari dengan indah. Tapi, masih ada yang terpeleset, yakni BUMN yang berkasus itu tadi.
Perlu ditambahkan, sebetulnya jumlah BUMN ada 114 perusahaan. Namun, sekarang dikonsolidasi menjadi 41 entitas yang kokoh dan efisien.Â
Artinya, satu entitas bisa terdiri dari satu BUMN induk dengan beberapa BUMN sebagai anak perusahaan.
Kembali ke soal raihan laba BUMN, Erick dan jajarannya belum saatnya berpuas diri. Masih banyak hal yang harus dibenahi, terutama agar tak ada lagi kasus korupsi.
Untuk itu, masalah pengawasan perlu mendapat perhatian serius. Keberadaan dewan komisaris harus difungsikan seefektif mungkin.
Komposisi anggota komisaris yang antara lain berisikan pejabat aktif di Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, sering dikritik para pengamat.
Soalnya, dengan rangkap jabatan seperti itu, fungsi pengawasan dari dewan komisaris belum berjalan dengan baik.
Kemudian, anggota komisaris yang berasal dari pengajar di perguruan tinggi dinilai lebih menguasai teori saja. Dari sisi praktik masih lemah, sehingga belum bisa mengawasi direksi dengan baik.
Ada lagi anggota komisaris yang diduga wakil partai politik atau wakil tim sukses dari pemerintahan sekarang ini, yang kemampuannya masih dipertanyakan banyak pengamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H