Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Jebakan Teknologi dan Ujian Keamanan Siber Perbankan

24 Mei 2023   05:04 Diperbarui: 24 Mei 2023   05:08 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penipuan online yang berpotensi membobol rekening nasabah bank|dok Shutterstock/PR Image Factory, dimuat Kompas.com

Sekitar 2 minggu yang lalu, jutaan nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) merasakan kekecewaan yang sangat dalam, terkait pelayanan di bank syariah terbesar di negara kita itu.

Ketika itu, sistem perbankan mengalami error dan tidak bisa melayanai transaksi nasabahnya dalam jangak waktu yang relatif lama, yakni antara 1 hingga 4 hari.

Dari penjelasan pihak manajemen BSI, terungkap bahwa bank tersebut terkena serangan siber, sehingga sistemya menjadi error.

Memang, soal terganggunya sistem operasional perbankan, bukanlah hal yang aneh. Bisa dikatakan semua bank pernah mengalami.

Namun, bank yang sistem keamanannya sudah teruji dengan baik, hanya membutuhkan waktu yang singkat (tak lebih dari belasan jam) untuk memulihkannya.

Terlepas dari kasus BSI, keamanan siber perbankan nasional memang tengah diuji. Bahkan tidak hanya sistem perbankan, tapi juga di bidang usaha lain, termasuk di lembaga pemerintahan.

Hanya saja, perbankan perlu mendapat perhatian serius, karena bagi bank yang berskala nasional, kantor cabangnya sudah menyebar ke berbagai penjuru.

Artinya, nasabahnya pun sudah dalam hitungan belasan juta orang, bahkan tak sedikit bank yang nasabahnya di atas 50 juta orang.

Tak heran, jika ada gangguan pada sistem perbankan, dampaknya lebih dahsyat ketimbang gangguan pada jenis bisnis lainnya.

Di lain pihak, sistem perbankan semuanya diatur secara terpusat. Sehingga, ketika core banking system suatu bank terganggu, ratusan cabangnya di seluruh tanah air seolah-olah tidak bisa apa-apa.

Tapi, apa betul petugas bank di cabang tidak bisa apa-apa? Paling tidak, mereka perlu kemampuan menjelaskan kondisi yang sesungguhnya terjadi dan menenangkan nasabahnya.

Dulu, ketika sistem perbankan masih manual, tentu tak ada istilah pelayanan terganggu. Nasabah yang menabung atau mengambil uang selalu bisa dilayani kasir selama jam kerja.

Ketika itu, transaksi akan tercatat di buku tabungan nasabah dengan tulisan tangan petugas bank. Sebagai bukti sahnya, ada paraf si petugas dan stempel kantor cabang bank.

Lalu, gelombang revolusi teknologi informasi melanda dunia, termasuk perbankan di mana-mana. Mengubah sistem pelayanan menjadi berbasis teknologi, seperti sebuah keharusan.

Bank yang tak mau memperbaharui sistemnya, akan terlindas oleh zaman, dalam arti akan mati karena ditinggalkan nasabahnya.

Nasabah menjadi sangat dimanjakan. Bayangkan saja, sambil rebahan di rumah sendiri, semua transaksi bisa dilakukan dengan cepat.

Namun, kemanjaan itu identik dengan ketergantungan pada sistem bank. Begitu sistem error, kacaulah semuanya.

Bagi kalangan yang melihat teknologi dari sisi negatif, hal itu disebut sebagai jebakan teknologi (IT Trapped). 

Sekali suatu bank me-launching sistem baru berbasis teknologi, maka tak ada jalan mundur. Yang ada malah tuntutan untuk selalu mengembangkan dan meng-up date sistem.

Nasabah pun akan "memaksa" bank agar menerapkan teknologi tercanggih. Jika bank tetangga bisa internet banking, maka bank lain juga harus bisa jika tak ingin nasabahnya kabur.

Satu lagi, bank pun harus berpacu atau adu cepat dalam memelihara dan mengawasi sistemnya dengan pelaku serangan siber, atau pelaku kejahatan online lainnya.

Inilah ujian berat bagi perbankan di era teknologi canggih. Berpacu dengan kebutuhan nasbah, sekaligus berpacu dengan kelihaian penjahat siber.

Bank yang pelayanannya lelet dan lemot akan ditinggalkan nasabah. Sistem yang error tidak hanya lelet, tapi malah gagal dalam memberikan pelayanan.

Apalagi, seperti yang dialami BSI selama beberapa hari yang telah disinggung di awal tulisan ini. Semoga tak ada lagi kejadian serupa di bank nasional manapun.

Jelaslah, bank yang telah mengimplementasikan sistem yang canggih, tidak bisa cepat berpuas diri dan membanggakan kecanggihannya.

Bank tersebut perlu pula secara paralel mengubah perilaku dan mental semua karyawannya, agar sinkron dengan teknologi canggih yang dipunyainya.

Bukan petugas bidang IT saja yang harus paham IT. Soalnya, karyawan non-IT yang tidak mampu menjadi pengguna sistem yang baik, berpotensi pula menimbulkan gangguan.

Kemudian, bank juga perlu memperhatikan perilaku nasabah. Sebagian nasabah diduga belum teredukasi dengan baik bagaimana cara bertransaksi yang aman.

Nasabah yang belum melek teknologi atau yang ceroboh sebagai pengguna teknologi, rawan jadi objek penipuan yang berpotensi bobolnya rekening nasabah.

Jadi, punya sistem terbaru bukanlah jaminan atas keamanan sistem operasional perbankan.

Karena yang terbaru pada hari ini, akan cepat sekali usangnya. Mungkin pada tahun depan sudah perlu diperbaiki dan disempurnakan.

Sehingga, perbaikan atau pembaruan terus menerus menjadi sesuatu yang mutlak. Inilah yang tadi disebut sebagai "jebakan" teknologi.

Jadi, keandalan sistem operasional perbankan harus selalu diuji secara periodik. Ujian ini tidak hanya membutuhkan kehebatan programmer-nya saja.

Yang lebih sulit justru bagaimana membangun budaya penggunaan teknologi yang cepat sekaligus aman.

Budaya penggunaan teknologi yang baik itu antara lain dilakukan dengan sosialisasi yang berkesinambungan terhadap para karyawan bank serta semua nasabahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun