Tapi, apa betul petugas bank di cabang tidak bisa apa-apa? Paling tidak, mereka perlu kemampuan menjelaskan kondisi yang sesungguhnya terjadi dan menenangkan nasabahnya.
Dulu, ketika sistem perbankan masih manual, tentu tak ada istilah pelayanan terganggu. Nasabah yang menabung atau mengambil uang selalu bisa dilayani kasir selama jam kerja.
Ketika itu, transaksi akan tercatat di buku tabungan nasabah dengan tulisan tangan petugas bank. Sebagai bukti sahnya, ada paraf si petugas dan stempel kantor cabang bank.
Lalu, gelombang revolusi teknologi informasi melanda dunia, termasuk perbankan di mana-mana. Mengubah sistem pelayanan menjadi berbasis teknologi, seperti sebuah keharusan.
Bank yang tak mau memperbaharui sistemnya, akan terlindas oleh zaman, dalam arti akan mati karena ditinggalkan nasabahnya.
Nasabah menjadi sangat dimanjakan. Bayangkan saja, sambil rebahan di rumah sendiri, semua transaksi bisa dilakukan dengan cepat.
Namun, kemanjaan itu identik dengan ketergantungan pada sistem bank. Begitu sistem error, kacaulah semuanya.
Bagi kalangan yang melihat teknologi dari sisi negatif, hal itu disebut sebagai jebakan teknologi (IT Trapped).Â
Sekali suatu bank me-launching sistem baru berbasis teknologi, maka tak ada jalan mundur. Yang ada malah tuntutan untuk selalu mengembangkan dan meng-up date sistem.
Nasabah pun akan "memaksa" bank agar menerapkan teknologi tercanggih. Jika bank tetangga bisa internet banking, maka bank lain juga harus bisa jika tak ingin nasabahnya kabur.
Satu lagi, bank pun harus berpacu atau adu cepat dalam memelihara dan mengawasi sistemnya dengan pelaku serangan siber, atau pelaku kejahatan online lainnya.