Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dampak Ikut Komunitas pada Indeks Kebahagiaan Pribadi

11 Juni 2023   07:19 Diperbarui: 11 Juni 2023   08:33 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi reuni suatu komunitas|dok. Radar Bogor/Dede Supriadi

Hingga saat ini, meskipun Idulfitri 2023 sudah cukup lama berlalu, berbagai acara halalbihalal yang sekaligus menjadi acara reuni, masih saja banyak berlangsung.

Hal ini gampang terlihat dari foto-foto dan komentar yang beredar di media sosial, yang berkaitan dengan acara reuni sambil halal bihalal, atau halal bihalal sambil reuni.

Ada yang melakukan reuni dengan teman satu angkatan saat SMP. Di hari lainnya, kumpul-kumpul dengan teman satu SMA.

Berikutnya, dengan teman satu angkatan kuliah. Ada pula dengan teman satu kloter haji belasan tahun lalu. Atau, teman satu kota asal yang sama-sama berdomisili di Jakarta.

Seseorang bisa saja punya beberapa grup pertemanan atau ikut komunitas tertentu. Bahkan, mereka yang bekerja di perusahaan yang sama pun, banyak yang bikin kelompok satu angkatan penerimaan.

Tak heran, akhirnya dalam 2 bulan belakangan ini, setiap Sabtu dan Minggu seolah-olah menjadi hari untuk reuni.

Saya sendiri sengaja memilih menghadiri beberapa acara reuni saja, sedangkan acara reuni lainnya tidak mungkin saya ikuti.

Salah satu acara reuni yang memang saya tunggu-tunggu, adalah dengan teman kerja yang satu angkatan penerimaan dengan saya.

Meskipun sama tahun masuk kerja, tidak berarti sama pula tahun pensiunnya. Soalnya, usia pensiun di tempat saya berkerja adalah 56 tahun.

Memang, sebagian besar di antara teman-teman itu sudah beberapa tahun pensiun, seperti juga yang saya alami.

Selain tidak sama saat pensiun, dengan start di garis yang sama (sama-sama sebagai staf junior setelah menyelesaikan masa training), kami finish di titik yang berbeda-beda.

Ada satu orang yang berhasil meraih jabatan direktur, beberapa orang yang meraih jabatan kepala divisi di kantor pusat atau menjadi kepala wilayah (kedua jabatan ini satu level di bawah direktur).

Namun, sebagian besar saat pensiun dengan posisi kepala bagian di kantor pusat dan kantor wilayah atau sebagai kepala cabang (semua jabatan ini satu level).

Tapi, di angkatan saya juga banyak yang berhenti sebelum pensiun. Beberapa orang perempuan mengajukan pengunduran diri setelah menikah.

Yang celaka, ada 3 teman saya yang berhenti karena terlibat kasus yang merugikan perusahaan. Bahkan, satu di antaranya sempat mendekam di penjara.

Dilihat dari sisi bekal pendidikan, kami satu angkatan semuanya bermodalkan ijazah S-1. Dalam perjalanan karier, ada yang lolos seleksi untuk dikirim perusahaan ikut program S-2 di luar negeri.

Ada pula yang lolos seleksi untuk ikut program magister di dalam negeri. Tapi, sebagian besar yang tak lolos seleksi memilih S-2 dalam negeri dengan biaya sendiri.

Tentu, yang dengan biaya sendiri terpaksa kuliah di malam hari atau program Sabtu-Minggu. Berbeda dengan yang disekolahkan, yang memang ditugaskan untuk belajar.

Nah, berikutnya saya ingin mengupas soal yang agak sensitif, yakni soal kekayaan. Kenapa sensitif? Karena tak mungkin saya bertanya ke masing-masing teman berapa jumlah hartanya.

Jadi, saya hanya bermodalkan apa yang terlihat saja. Ukuran kekayaan lebih melihat pada penampilan, kondisi rumah, dan jenis kendaraan seseorang.

Selain itu saya juga dapat info siapa teman saya yang punya beberapa rumah bagus dan beberapa mobil mahal. 

Beberapa teman jadi kaya raya karena punya puluhan petak kos-kosan, pintar bermain saham, atau punya beberapa bisnis yang dijalankan saudaranya.

Jelaslah, secara materi, meskipun kami start dengan pangkat dan gaji yang sama, puluhan tahun kemudian nasibnya sudah berbeda-beda secara signifikan.

Tak usah bicara puluhan tahun kemudian, beberapa teman saya baru 4 tahun bekerja sudah punya mobil. Ketika itu saya masih naik Metro Mini ke kantor.

Tapi, dari dulu saya tak punya rasa iri kepada teman yang berkaitan dengan kekayaan. Saya sudah bersyukur masih bisa menyisihkan gaji buat membantu adik-adik saya yang kuliah.

Soalnya, saya berasal dari keluarga yang latar belakang ekonominya tergolong pas-pasan. Bahkan, saya meraih S-1 lebih banyak terbantu karena dapat beasiswa dari pemerintah.

Namun, ketika saya gagal dalam seleksi tahap akhir untuk memperoleh pendidikan pascasarjana di AS, jujur saja, saya kecewa berat.

Alhamdulillah, pada kesempatan seleksi berikutnya saya berhasil lolos (seseorang dibolehkan ikut seleksi sebanyak 2 kali, asal usia belum 35 tahun). 

Namun, dengan beberapa pertimbangan terkait keluarga dan kesehatan, saya memilih program di dalam negeri saja.

Keinginan saya untuk menginjakkan kaki di negara Paman Sam baru dikabulkan Allah beberapa tahun sebelum pensiun, meskipun untuk sekadar ikut pelatihan berdurasi 1 minggu.

Membahas soal jabatan sudah, pendidikan sudah, kekayaan sudah. Yang belum adalah soal keluarga. Ada satu teman saya, kebetulan wanita, yang hingga sekarang belum menikah.

Beberapa teman saya, punya anak-anak yang lebih sukses dari orang tuanya. Sebagian teman saya mengaku bahwa anak-anaknya masih jadi beban orang tua.

Kembali ke soal reuni sesama pensiunan, pembicaraan soal keluarga jadi mendominasi, selain soal kenangan saat bekerja, dan saling bertukar kabar kondisi saat ini.

Topik kekayaan termasuk jarang dibahas, kalah dengan topik kesehatan, topik kegiatan sosial dan keagamaan, serta topik yang berkaitan dengan hobi.

Sebetulnya, diam-diam saya mengamati, siapa di antara kami yang paling bahagia? Karena bagi saya pribadi bahagia tak tergantung dengan harta, gelar akademis, dan juga bukan jabatan.

Jika secara makro ada istilah indeks kebahagiaan dari suatu negara atau provinsi, maka masing-masing kita juga bisa membuat indeks kebahagiaan pribadi.

Karena saya tak tahu bagaimana teman-teman saya membuat kriteria indeks kebahagiaannya, maka tentu saya gagal untuk mengetahui seberapa bahagia mereka. 

Namun, saya sendiri alhamdulillah merasa bahagia karena dalam indeks kebahagiaan versi saya, bobot untuk harta kekayaan tidak dominan.

Saya memberi bobot lebih besar untuk kehidupan sosial dan keagamaan, termasuk saling berbagi ilmu dan pengalaman dalam suatu komunitas, serta berdonasi kepada yang kurang mampu.

Bagaimana dengan indeks kebahagiaan Anda? Di Kompasiana ada banyak komunitas, lho! Silakan pilih yang mana Anda suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun