Selain tidak sama saat pensiun, dengan start di garis yang sama (sama-sama sebagai staf junior setelah menyelesaikan masa training), kami finish di titik yang berbeda-beda.
Ada satu orang yang berhasil meraih jabatan direktur, beberapa orang yang meraih jabatan kepala divisi di kantor pusat atau menjadi kepala wilayah (kedua jabatan ini satu level di bawah direktur).
Namun, sebagian besar saat pensiun dengan posisi kepala bagian di kantor pusat dan kantor wilayah atau sebagai kepala cabang (semua jabatan ini satu level).
Tapi, di angkatan saya juga banyak yang berhenti sebelum pensiun. Beberapa orang perempuan mengajukan pengunduran diri setelah menikah.
Yang celaka, ada 3 teman saya yang berhenti karena terlibat kasus yang merugikan perusahaan. Bahkan, satu di antaranya sempat mendekam di penjara.
Dilihat dari sisi bekal pendidikan, kami satu angkatan semuanya bermodalkan ijazah S-1. Dalam perjalanan karier, ada yang lolos seleksi untuk dikirim perusahaan ikut program S-2 di luar negeri.
Ada pula yang lolos seleksi untuk ikut program magister di dalam negeri. Tapi, sebagian besar yang tak lolos seleksi memilih S-2 dalam negeri dengan biaya sendiri.
Tentu, yang dengan biaya sendiri terpaksa kuliah di malam hari atau program Sabtu-Minggu. Berbeda dengan yang disekolahkan, yang memang ditugaskan untuk belajar.
Nah, berikutnya saya ingin mengupas soal yang agak sensitif, yakni soal kekayaan. Kenapa sensitif? Karena tak mungkin saya bertanya ke masing-masing teman berapa jumlah hartanya.
Jadi, saya hanya bermodalkan apa yang terlihat saja. Ukuran kekayaan lebih melihat pada penampilan, kondisi rumah, dan jenis kendaraan seseorang.
Selain itu saya juga dapat info siapa teman saya yang punya beberapa rumah bagus dan beberapa mobil mahal.Â