Tapi, saya termasuk orang yang lalai. Baru ketika ada masalah, saya memanggil tukang. Hanya saja, tukang yang saya kenal sekarang usianya sudah cukup tua dan hasil kerjanya kurang rapi.
Atas usul anak saya, kenapa tidak mencari tukang melalui aplikasi saja. Saya pikir, boleh juga, kenapa tidak.
Maka tukang yang dikontak anak saya pun datang ke rumah untuk mengecek apa yang harus dikerjakannya dan memastikan apakah jasanya akan dipakai atau batal.
Namun, kalaupun jasanya tidak dipakai, tetap ada ongkos pengecekan yang sudah tercantum sebagai persyaratan dalam aplikasi tersebut.
Adapun soal biaya jasanya, sudah tercantum jelas dan tak bisa lagi dinegosiasi. Pembayaran upahnya bukan per hari, juga bukan borongan.
Cara menghitung upahnya adalah per item pekerjaan. Misalnya, untuk membersihkan kran air agar alirannya lancar, ada tarifnya.
Untuk memasang kran baru dengan mengorek kran lama yang patah di bagian yang menancap di dinding tembok, ada pula tarif tersendiri.
Kemudian, menguras air di toren (tong besar penampung air di bagian paling tinggi di sebuah rumah), ada lagi tarifnya.
Saya hitung-hitung untuk pekerjaan selama 5 jam, dengan total 3 item, upah servisnya hampir Rp 1,5 juta. Itu belum termasuk pembelian material yang diperlukan.
Menurut saya, meskipun mutu pekerjaannya terbilang bagus, tapi upahnya itu yang "minta ampun", mahal banget.Â
Tentu, mahal atau tidaknya bersifat relatif. Saya menyebut mahal, karena tukang-tukang yang didapat tanpa aplikasi, masih bisa dibayar  sekitar Rp 300.000 untuk satu hari.