Makin melimpahnya jumlah akuntan tentu membuat pesaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat. Namun, bagi yang gigih, besar harapan akan mendapatkan pekerjaan.Â
Masalahnya, cara bekerja para akuntan dari masa ke masa mengalami banyak perubahan, dan sangat tergantung pada perkembangan teknologi informasi dan jaringan komunikasi.Â
Akibatnya, ilmu yang dipelajari di bangku kuliah belum tentu sesuai dengan apa yang ditemui dalam dunia pekerjaan.
Selama ini, lulusan akuntansi di banyak perusahaan ditempatkan di berbagai unit kerja, baik di level kantor pusat, maupun level di bawahnya.
Misalnya, di unit kerja yang menyusun laporan keuangan, yang menganalisis laporan, yang membuat perencanaan anggaran perusahaan, dan yang melakukan fungsi pengendalian internal.
Nah, karena mereka bekerja sudah memakai sistem pembukuan yang real time online (pakai aplikasi khusus), para akuntan muda itu relatif lebih ringan pekerjaannya dibanding akuntan jadul.
Tapi, "kemanjaan" akuntan sekarang sering membuat mereka terlena, karena ada apa-apa solusinya sudah ada di aplikasi.
Akibatnya, logika akuntansi atau filosofi akuntansi para akuntan muda terkesan mulai berkurang. Misalnya, mereka diminta membuat jurnal pembukuan dari sebuah transaksi, mereka jadi kelabakan.
Padahal, jurnal pembukuan menjadi "makanan sehari-hari" akuntan jadul yang melakukan pembukuan secara manual.
Terlebih di saat ini, ketika artificial intelligence semakin berkembang, jangan-jangan akuntan pun butuh bantuan ChatGPT untuk menjawab jurnal pembukuan.
Pertanyaannya, akan seperti apa masa depan sarjana akuntansi, jika fungsinya bisa diambil alih oleh aplikasi? Haruskah mereka siap-siap untuk berganti profesi?