Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banyak Anak dan Tak Punya Anak, Sama Ekstrimnya Secara Makro

13 Februari 2023   05:21 Diperbarui: 13 Februari 2023   06:51 1539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keluarga banyak anak |dok. Shutterstock, dimuat okezone.com

Child free atau pilihan sukarela pasangan suami istri (pasutri) untuk tidak mempunyai anak, sekarang lagi ramai dibicarakan, terutama di media sosial.

Sebetulnya, istilah child free tersebut sudah dikenal sejak lama. Sekarang menjadi hangat lagi gara-gara komentar seorang influencer Gita Savitri yang kontroversial.

Gita menyatakan di media sosial bahwa punya anak adalah beban, sehingga ia dengan sengaja memilih untuk tidak punya anak.

Nah, alasan anak sebagai beban dan juga alasan child free agar awet muda, telah menuai pro dan kontra dari pengguna media sosial.

Secara pribadi saya berpendapat bahwa mempunyai anak menjadi salah satu kebahagiaan yang tak ternilai harganya bagi pasutri. 

Saya telah membuktikan dengan 3 anak yang saya punyai. Padahal, waktu belum menikah saya bukan penyuka anak-anak.

Jika saya melihat anak kecil yang menangis meraung-raung di tempat publik, dulunya saya akan merasa terganggu.

Tapi, setelah punya bayi, saya dengan senang hati membersihkan kotorannya, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan kepada para keponakan saya sewaktu mereka kecil.

Melihat perkembangan anak dari hari ke hari, merupakan sensasi tersendiri. Perkembangan kemampuannya menggerakkan badan dan kemampuannya berbicara, sangat menarik diamati.

Bahkan, sekarang saya punya seorang cucu berusia 1 tahun. Benar kata orang, sayang kepada cucu bisa saja melebihi sayang kepada anak. Nah, bagaimana mau punya cucu, jika anak saja tidak punya. 

Bila pasutri tak punya anak karena memang sudah ditakdirkan begitu, padahal mereka sudah berusaha semaksimal mungkin, tentu bisa dimaklumi. Ini sangat berbeda dengan penganut child free.

Terlepas dari pilihan masing-masing pasutri, jika ada orang yang menganggap punya anak sebagai beban, saya mencoba untuk memahaminya. Artinya, saya tak akan mencela pilihan tersebut.

Hanya saja, saya berpikir, jika demikian banyak pasutri yang dengan sengaja tidak punya anak, bukankah bisa mengancam masa depan bangsa?

Maksudnya, dilihat secara makro untuk suatu daerah atau suatu negara, jika angkatan kerja yang berasal dari generasi muda berkurang signifikan, pembangunan bisa mengalami stagnasi.

Ancaman itu sama saja berbahayanya dengan kondisi bila banyak sekali pasutri yang masing-masing punya anak dalam jumlah besar (katakanlah di atas 4 orang).

Tentang anak banyak ini, di antaranya ada pasutri yang sengaja atau telah merencanakan untuk punya banyak anak dengan alasan yang berkaitan dengan agama.

Dengan banyaknya pasutri (yang sama agamanya) yang punya banyak anak, maka diharapkan ummat agama yang sesuai dengan yang dipeluk para pasutri dimaksud, akan bertambah banyak.

Tapi, terlepas dari adanya paham seperti itu, persoalan keberlangsungan masa depan bangsa yang berkualitas juga perlu dipikirkan.

Jika para pasutri berlomba-lomba punya anak banyak, dampak secara makro akan berat. Bayangkan, betapa banyak lahan pertanian harus dibuka agar cukup makanan, atau berapa banyak yang harus diimpor.

Berapa jumlah sekolah, jumlah guru, jumlah rumah sakit dan tenaga kesehatan, dan hal-hal lainnya, yang perlu disediakan untuk jumlah penduduk yang meledak itu.

Dan yang lebih sulit lagi, berapa banyak lapangan kerja yang harus diciptakan, baik oleh sektor swasta maupun pemerintah.

Makanya, Program Keluarga Berencana  menjadi solusi ketika dulu laju pertumbuhan penduduk di negara kita demikian tinggi.

Sebaliknya, laju petumbuhan penduduk yang sangat kecil, atau bahkan negatif (yang meninggal lebih banyak dari yang lahir), juga mengancam masa depan bangsa.

Bukankah dengan langkanya pasutri yang punya anak di suatu negara, akan terjadi bangsa yang menua. Lalu, siapa yang melanjutkan pembangunan bangsa?

Maka, dalam hal ini, anak tidak lagi dianggap sebagai beban, tapi justru sebagai aset yang berharga

Jangan heran, sekarang beberapa negara sengaja memberikan insentif bagi pasutri di negara tersebut yang mau punya anak.

Sebagai contoh, dulu China merasa sudah terlalu banyak penduduknya, sehingga membuat kebijakan pasutri hanya boleh punya 1 anak. Pada 2015 kebijakannya direvisi, boleh maksimal 2 anak.

Sejak 2021, karena khawatir menjadi bangsa yang menua, China membolehkan pasutri mempunyai maksimal 3 anak.

Jelaslah, kalau banyak anak merupakan kondisi ekstrim, tidak punya anak pun juga kondisi ekstrim di sisi yang berseberangan.

Kesimpulannya, dalam kacamata ekonomi makro, laju pertumbuhan penduduk itu sangat diperlukan, asal terkendali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun