Terlepas dari pilihan masing-masing pasutri, jika ada orang yang menganggap punya anak sebagai beban, saya mencoba untuk memahaminya. Artinya, saya tak akan mencela pilihan tersebut.
Hanya saja, saya berpikir, jika demikian banyak pasutri yang dengan sengaja tidak punya anak, bukankah bisa mengancam masa depan bangsa?
Maksudnya, dilihat secara makro untuk suatu daerah atau suatu negara, jika angkatan kerja yang berasal dari generasi muda berkurang signifikan, pembangunan bisa mengalami stagnasi.
Ancaman itu sama saja berbahayanya dengan kondisi bila banyak sekali pasutri yang masing-masing punya anak dalam jumlah besar (katakanlah di atas 4 orang).
Tentang anak banyak ini, di antaranya ada pasutri yang sengaja atau telah merencanakan untuk punya banyak anak dengan alasan yang berkaitan dengan agama.
Dengan banyaknya pasutri (yang sama agamanya) yang punya banyak anak, maka diharapkan ummat agama yang sesuai dengan yang dipeluk para pasutri dimaksud, akan bertambah banyak.
Tapi, terlepas dari adanya paham seperti itu, persoalan keberlangsungan masa depan bangsa yang berkualitas juga perlu dipikirkan.
Jika para pasutri berlomba-lomba punya anak banyak, dampak secara makro akan berat. Bayangkan, betapa banyak lahan pertanian harus dibuka agar cukup makanan, atau berapa banyak yang harus diimpor.
Berapa jumlah sekolah, jumlah guru, jumlah rumah sakit dan tenaga kesehatan, dan hal-hal lainnya, yang perlu disediakan untuk jumlah penduduk yang meledak itu.
Dan yang lebih sulit lagi, berapa banyak lapangan kerja yang harus diciptakan, baik oleh sektor swasta maupun pemerintah.
Makanya, Program Keluarga Berencana  menjadi solusi ketika dulu laju pertumbuhan penduduk di negara kita demikian tinggi.