Sebaliknya, laju petumbuhan penduduk yang sangat kecil, atau bahkan negatif (yang meninggal lebih banyak dari yang lahir), juga mengancam masa depan bangsa.
Bukankah dengan langkanya pasutri yang punya anak di suatu negara, akan terjadi bangsa yang menua. Lalu, siapa yang melanjutkan pembangunan bangsa?
Maka, dalam hal ini, anak tidak lagi dianggap sebagai beban, tapi justru sebagai aset yang berharga
Jangan heran, sekarang beberapa negara sengaja memberikan insentif bagi pasutri di negara tersebut yang mau punya anak.
Sebagai contoh, dulu China merasa sudah terlalu banyak penduduknya, sehingga membuat kebijakan pasutri hanya boleh punya 1 anak. Pada 2015 kebijakannya direvisi, boleh maksimal 2 anak.
Sejak 2021, karena khawatir menjadi bangsa yang menua, China membolehkan pasutri mempunyai maksimal 3 anak.
Jelaslah, kalau banyak anak merupakan kondisi ekstrim, tidak punya anak pun juga kondisi ekstrim di sisi yang berseberangan.
Kesimpulannya, dalam kacamata ekonomi makro, laju pertumbuhan penduduk itu sangat diperlukan, asal terkendali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H