Dengan demikian, jika nantinya RUU PRT disahkan dan diterapkan sepenuhnya, tak ada lagi masalah diskriminasi, kekerasan, atau masalah upah terhadap PRT.
Mohon diingat, meskipun disingkat sebagai PRT, tapi jangan diartikan sebagai pembantu rumah tangga. Pembantu dan pekerja tentu berbeda maknanya.
Pekerja berkonotasi lebih mengandung penghargaan, sebagaimana yang ditujukan bagi perkerja di berbagai bidang lainnya.
Ternyata, pengesahan RUU PRT yang diharapkan sebagai kado peringatan hari PRT, masih belum terwujud.
Tentang sejarah hari PRT itu sendiri, bermula sejak tahun 2007, sebagai refleksi atas peristiwa penyiksaan dan kekerasan terhadap PRT anak berusia 14 tahun bernama Sunarsih.
Sunarsih yang bekerja pada seorang majikan di Surabaya, meninggal dunia pada 12 Februari 2001. Ia bekerja 18 jam sehari tanpa mendapat upah.
Bahkan, Sunarsih juga tidak mendapat akses keluar rumah karena dikunci, tidak bisa berkomunikasi dan tidur di lantai jemuran (voaindonesia.com, 13/2/2023).
Kembali ke soal RUU PRT, meskipun sudah sangat terlambat untuk disahkan, lebih baik terlambat dari pada tidak punya UU PRT sama sekali.
Perlu diketahui, RUU tersebut sudah lama diajukan oleh pemerintah kepada DPR, yakni sejak 2004.
Sebetulnya, RUU PRT sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2019, tapi hingga kini belum pernah dibahas dalam sidang paripurna DPR.
Betul, jika UU hanya sekadar ketentuan tertulis tanpa pengawasan di lapangan, sepertinya akan percuma.