Tapi, okelah, kita fokus saja membahas 2 hal itu tadi, soal konflik di tingkat akar rumput dan biaya kampanye.
Sebetulnya, dulu jabatan kades tidak terlalu menarik. Tapi, sejak dialokasikannya Dana Desa yang jumlahnya per desa sekitar Rp 1 miliar per tahun, situasinya jadi berbeda.
Dana Desa mulai diberlakukan sejak 2015 dan setelah itu persaingan politik di tingkat desa pun semakin ketat.
Jika masa jabatannya hanya 6 tahun, kades yang menang merasa akan digoyang terus oleh saingannya yang kalah, sebagai persiapan merebut jabatan pada pilkades berikutnya.
Tapi, jika 9 tahun, maka persaingan politik diperkirakan akan berkurang, karena para pemburu jabatan kades baru akan bergerak ketika mendekati pilkades saja.
Begitulah antara lain alasan yang dijadikan Papdesi. Namun, jika kades bekerja dengan sebaik-baiknya dan programnya didukung masyarakat, sebetulnya sulit juga untuk digoyang lawan politiknya.
Berbeda bila misalnya si kades mendapat keuntungan pribadi dari penggunaan Dana Desa, maka bisa saja lawan politiknya akan selalu memata-matai.
Apalagi, bila lawan politik ini juga punya massa di tingkat akar rumput. Bisa-bisa terjadi konflik yang menghambat pembangunan desa.
Nah, makanya soal dana yang dihabiskan cakades saat kampanye jadi relevan untuk didalami.
Jangan-jangan (mudah-mudahan tidak terjadi) dana yang dihabiskan demikian besar. Dengan masa jabatan 6 tahun, belum "pulang modal".
Perlu diketahui, gaji kades terhitung kecil. Sebagai contoh, di tahun 2022 seorang kades di Kabupaten Kaur (Bengkulu) dapat gaji per bulan Rp 2.427.000 ditambah tunjangan Rp 150.000.