Terkait Pemilu 2024 mendatang, khususnya dalam pemilihan anggota legislatif (pileg), sekarang lagi hangat polemik tentang sistem yang akan digunakan.
Dalam hal ini, ada dua sistem yang dipertentangkan, yakni sistem proporsional terbuka yang sudah dipakai dalam beberapa kali pileg terakhir dan sistem proporsional tertutup.
Pada sistem terbuka, pemilih memilih langsung wakil-wakilnya. Jadi, pada kertas suara, sudah ada daftar nama dan foto masing-masing calon legislatif sesuai dengan kolom parpolnya.
Sedangkan pada sistem tertutup, pemilih hanya memilih partai politik. Maksudnya, pada kertas suara tidak akan ada nama dan foto calon legislatif yang telah ditetapkan sebuah parpol.
Namun, jika pemilih ingin mengetahui siapa saja daftar calon legislatif yang diajukan oleh masing-masing parpol, bisa dilihat pada papan informasi di tempat pemungutan suara (TPS).
Sudah 4 kali pemilu sistem terbuka digunakan, dengan tujuan membuka partisipasi masyarakat untuk ikut menentukan wakil yang dikehendakinya.
Nah, konsistensi sistem terbuka tersebut kembali mendapat ujian karena muncul kehendak parpol tertentu untuk kembali ke sistem tertutup.
Lagipula, saat ini sedang berlangsung uji materi atau judicial review yang diajukan sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggugat sistem proporsional terbuka.
Memang, sistem terbuka menimbulkan celah berupa maraknya politik uang, maksudnya menggiring pemilih untuk memilih seorang calon dengan imbalan uang.
Tapi, kelemahan tersebut sebaiknya diperbaiki tanpa harus kembali menggunakan sistem tertutup yang terkesan sebagai langkah mundur.
Pada sistem tertutup, ketua umum partai terlihat sangat berkuasa penuh dalam menyusun daftar calon legislatif beserta nomor urutnya.
Dalam hal ini, nomor urut calon menjadi sangat menentukan, karena jika perolehan suara partai di suatu daerah setara dengan tiga kursi, maka yang terpilih adalah calon nomor urut 1 sampai 3.
Untuk parpol yang di mata publik sudah sangat populer, meskipun kader-kadernya yang dicalonkan tidak begitu terkenal, sistem tertutup lebih menguntungkan.
PDIP merupakan contoh partai yang diduga dipilih karena faktor partainya, bukan faktor individu calon legislatif yang diajukannya di suatu daerah pemilihan.
Terhadap fenomena seperti itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa pemilih memilih calon ibarat membeli kucing dalam karung.
Artinya, pemilih harus percaya saja kepada partai. Kasarnya, jika partai memasang calon yang tak berkualitas namun berani membayar mahal ke partai, itulah risiko bagi para pemilih.
Pendapat tersebut tentu bisa didebat oleh pemilih yang sangat yakin bahwa sistem pengkaderan di suatu partai sudah sangat baik.
Jadi, siapapun yang dijadikan calon oleh suatu parpol, mereka yakin yang bagus-bagus semua, karena sudah memenuhi kriteria.
Di sisi lain, harus diakui, ada pemilih yang tak begitu peduli akan partai, asal ada calon yang menurutnya berkualitas.
Maksudnya, mereka memilih figur yang sesuai kriteria yang mereka inginkan, bukan karena si calon berasal dari partai tertentu.
Nah, masalahnya berapa banyak pemilih yang memilih karena partai, dan berapa banyak yang memilih karena sosok caleg.
Misalnya, bila selama ini calon yang berada pada nomor urut 1 hingga 3 dari suatu partai, lebih banyak mendapat suara, maka bisa ditafsirakan mereka memilih karena partai.
Namun, bila ada caleg yang terpilih, meskipun berada di nomor urut 13, padahal caleg nomor urut 2 tidak terpilih, itu jelas bukan karena faktor partai.Â
Apakah caleg nomor 13 terpilih karena kuat melakukan "serangan fajar" atau karena memang punya program yang bagus, inilah yang perlu didalami lebih jauh.
Logikanya, partai telah mempertimbangkan, yang diletakkan di nomor urut 1 dinilai lebih berkualitas.
Tapi, akan "rusak" bila nomor urut disusun berdasarkan besar kecilnya mahar politik yang disetor seorang caleg kepada partai.
Kesimpulannya, masing-masing sistem punya kelemahan. Sistem proporsional terbuka akan memunculkan politik uang atau yang lebih dikenal dengan istilah serangan fajar.
Tapi, pada sistem proporsional tertutup, politik uangnya lebih kepada mahar politik kepada partai agar dapat nomor peci (nomor kecil), bukan nomor sepatu (nomor besar).
Lalu, bagi pemilih, karena hanya memilih partai, jadi ibarat membeli kucing dalam karung, dalam arti siapa wakil rakyat yang dipilihnya mungkin bukan sosok yang diharapkannya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi sedang ditunggu terkait hal tersebut. Tentunya, sistem yang kelebihannya lebih banyak dan kelemahannya lebih sedikit, itu yang harus digunakan.
Terhadap kelemahan tersebut, bukan hanya didiamkan saja. Tapi peran Badan Pengawas Pemilu harus lebih ditingkatkan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri, menurut berita di media massa, menghendaki sistem tertutup dan sudah menyiapkan kajiannya.
Namun, ada 8 parpol yang tegas menolak sistem proporsional tertutup, karena menilai itu sebagai langkah mundur.
Keputusan MK diharapkan tetap dalam kerangka menegakkan sistem demokrasi yang diperjuangkan Orde Reformasi.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H