Apakah adanya kebijakan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) khusus untuk orang kaya, bisa dibilang kebijakan yang aneh? Aneh atau tidak, yang jelas kebijakan seperti itu tidak lazim.
Selama ini, jika ada moda transoprtasi yang menerapkan sistem dua tarif, maka jenis layanannya akan berbeda untuk masing-masing sistem.
Misalnya, penumpang pesawat kelas bisnis yang bertarif mahal punya tempat duduk yang lebih lega di bagian depan.
Kemudian, penumpang kelas bisnis juga dapat fasilitas yang lebih banyak dibanding penumpang kelas ekonomi yang bertarif lebih murah.
Ada juga moda transportasi yang menerapkan beberapa kelas tarif, meskipun pelayanannya sama saja bagi semua penumpang.
Tapi, perbedaannya bukan karena kaya-miskinnya seorang penumpang. Melainkan, melihat usianya. Misalnya, pelajar dan lansia mendapat tarif diskon.
Diskon tersebut rasanya masuk akal, karena pelajar rata-rata uang jajannya dari orang tua relatif kecil. Di lain pihak, pergi ke sekolah bersifat wajib.
Adapun lansia, atau di luar negeri istilahnya lebih halus "warga senior", rata-rata juga punya penghasilan terbatas.
Lansia yang punya uang pensiun bulanan pun, jumlah yang diterimanya relatif kecil. Apalagi, yang tak punya uang pensiun.
Nah, sekarang kalau tarif dibedakan berdasarkan penghasilan pelanggan atau penghasilan penumpang transportasi publik, memang rasanya kurang lazim.
Makanya, wacana penerapan tarif KRL naik dengan adanya tarif bagi orang kaya, telah memunculkan polemik yang hangat.
Kebanyakan suara yang berkembang cenderung menolak adanya tarif kaya dan miskin, karena bersifat diskriminatif.
Paling tidak, ada 4 alasan kenapa sebaiknya wacana yang kurang lazim itu dihentikan saja.
Pertama, ukuran kaya miskin sangat relatif. Itupun dengan asumsi setiap calon penumpang kereta api bersedia untuk jujur menginformasikan jumlah penghasilannya.
Informasi itu sebagai dasar membuat kartu penumpang KRL. Mungkin mereka yang penghasilannya di atas jumlah tertentu, akan diberikan kartu khusus orang kaya.
Masalahnya, bagaimana cara menetapkan batasannya. Apakah seseorang bergaji Rp 10 juta sudah bisa dikatakan kaya? Belum tentu.
Bayangkan, jika gaji sebesar itu sebagian habis untuk membayar cicilan kredit kepemilikan rumah.
Belum lagi, kalau yang bergaji Rp 10 juta itu punya anak yang kuliah di perguruan tinggi swasta.
Kedua, dengan anggapan tidak perlu mengisi data penghasilan, akan sulit membedakan kaya-miskin hanya berdasarkan penampilan.
Orang kaya berpenampilan sederhana lumayan banyak, sebanyak orang yang tidak kaya tapi berpenampilan mirip orang kaya.
Kalau harus menunjukkan slip gaji atau saldo tabungan, akan lebih rumit lagi dan sangat tidak praktis. Bisa-bisa menghambat pelayanan.
Ketiga, sulit melaksanakan dan mengawasi penerapan tarif yang berbeda untuk orang kaya.Â
Andaipun pakai gerbong khusus untuk orang kaya, belum tentu juga orang kaya akan memilih gerbong khsusus itu.
Ketika penumpang relatif sepi bukan pada jam sibuk, yang kaya nyaman-nyaman saja memilih gerbong orang miskin.
Justru, saat penumpang berjubel, bisa-bisa orang miskin memaksakan diri membayar lebih agar duduk di gerbong orang kaya.
Keempat, label kaya belum tentu membuat nyaman orang yang disebut kaya itu. Begitu pula mereka yang dilabeli miskin, mungkin terpukul mentalnya.
Karena empat alasan itulah, sebaiknya hentikan saja wacana adanya tarif KRL khusus untuk orang kaya.Â
Jika ingin menaikkan tarif KRL, naikkan saja pada jumlah yang masih terjangkau oleh masyarakat banyak.
Misalnya, dengan menetapkan persentase kenaikan sebesar 10 persen dari yang berlaku sekarang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H