Makanya, wacana penerapan tarif KRL naik dengan adanya tarif bagi orang kaya, telah memunculkan polemik yang hangat.
Kebanyakan suara yang berkembang cenderung menolak adanya tarif kaya dan miskin, karena bersifat diskriminatif.
Paling tidak, ada 4 alasan kenapa sebaiknya wacana yang kurang lazim itu dihentikan saja.
Pertama, ukuran kaya miskin sangat relatif. Itupun dengan asumsi setiap calon penumpang kereta api bersedia untuk jujur menginformasikan jumlah penghasilannya.
Informasi itu sebagai dasar membuat kartu penumpang KRL. Mungkin mereka yang penghasilannya di atas jumlah tertentu, akan diberikan kartu khusus orang kaya.
Masalahnya, bagaimana cara menetapkan batasannya. Apakah seseorang bergaji Rp 10 juta sudah bisa dikatakan kaya? Belum tentu.
Bayangkan, jika gaji sebesar itu sebagian habis untuk membayar cicilan kredit kepemilikan rumah.
Belum lagi, kalau yang bergaji Rp 10 juta itu punya anak yang kuliah di perguruan tinggi swasta.
Kedua, dengan anggapan tidak perlu mengisi data penghasilan, akan sulit membedakan kaya-miskin hanya berdasarkan penampilan.
Orang kaya berpenampilan sederhana lumayan banyak, sebanyak orang yang tidak kaya tapi berpenampilan mirip orang kaya.
Kalau harus menunjukkan slip gaji atau saldo tabungan, akan lebih rumit lagi dan sangat tidak praktis. Bisa-bisa menghambat pelayanan.