Selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) sekarang ini, saya memutuskan menghabiskan waktu di Jakarta saja. Pertimbangan cuaca yang kurang bersahabat, menjadi salah satu alasannya.
Seperti diketahui, di banyak daerah di Indonesia, diperkirakan menghadapi cuaca ekstrem akhir tahun 2022 ini.
Tapi, saya merasa tersindir bila lagi berinteraksi dengan saudara-saudara dan para keponakan saya melalui media sosial.
Mereka semuanya lagi asyik berwisata. Ada yang memakai kendaraan sendiri membawa keluarganya dari Tangerang Selatan ke Bali.
Ada yang menetap di Batam lagi berwisata di Sumbar, ke kampung halamannya. Ada juga yang tinggal di Riau dan sedang main ke Palembang.
Semuanya seperti berlomba-lomba memposting foto masing-masing, dan saya hanya tinggal menanggapi dengan simbol jempol saja.
Terlepas dari apa yang dilakukan keluarga saya itu, ada berita dari salah satu stasiun televisi yang cukup menggelitik.
Ternyata, dari sebuah hasil survei, orang Indonesia disebut sebagai orang-orang yang kurang piknik.
Rata-rata warga Indonesia bepergian hanya 2,6 kali dalam satu tahun. Hal ini kalah jauh dengan warga negara tetangga kita, Malaysia, yang bepergian 10,3 kali dalam setahun.
Mengingat dampak wisata kepada perekonomian lumayan besar, pemerintah melalui kementerian terkait memotivasi masyarakat untuk bepergian ke berbagai penjuru tanah air.
Keindahan alam negara kita yang luas ini terlalu sayang bila tidak dinikmati oleh kita-kita sendiri.
Jangan sampai wisatawan asing lebih mengetahui cantiknya Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat, ketimbang banyak orang Indonesia yang tinggal di Jakarta.
Tapi, kembali ke soal survei, saya tidak sepenuhnya setuju. Saya ingin memberikan tanggapan seperti berikut ini.
Saya jujur saja tak punya data. Tapi, jika piknik gaya tradisional dihitung dalam survei, rasa-rasanya rata-rata orang Indonesia bisa bepergian sekitar 6 kali setahun, atau setiap 2 bulan.
Hal itu mengacu pada beberapa orang kerabat (bukan saudara kandung) saya. Mereka sering bepergian pada hari libur ke objek wisata yang berjarak tempuh sekitar 3 jam dari rumahnya.
Mereka tidak menginap, tapi tak jarang jika jaraknya lebih jauh akan menginap di homestay untuk 1 malam.
Ciri-ciri piknik versi tradisional adalah membawa masakan sendiri dari rumah (nasi plus lauk pauk) dan menggelar tikar di objek wisata.
Memang, dilihat dari dampak ke perekonomian, mungkin tak signifikan, karena pedagang makanan setempat tidak kebagian rezeki.
Tapi, dilihat dari sisi penghematan keluarga yang berpiknik, ini lumayan membantu.
Nah, kalau yang nendang buat perekonomian adalah piknik yang bepergian naik pesawat, makan-makan di retoran, menginap di hotel, dan beli oleh-oleh di toko yang bonafid.
Kalau seperti itu, saya percaya, secara rata-rata orang Indoenesia melakukannya 2,6 kali setahun.Â
Soalnya, harus diakui, pendapatan rata-rata masyarakat kita masih di bawah warga asing seperti Malaysia.
Namun, jangan tanya soal hasrat berpiknik masyarakat. Justru, mereka yang menggelar tikar dan membawa nasi dari rumah itu, menggambarkan hasrat yang tinggi.
Jadi, di tengah keterbatasan anggaran pun, mereka tetap usahakan pergi piknik tipis-tipis sesuai kondisi kantong.
Kembali ke cerita saudara saya yang lagi berwisata di berbagai daerah, yakni Bali, Sumbar, dan Palembang, semuanya punya satu kesamaan, yakni macet parah menjelang sampai di objek wisata.
Siapa yang masih berani bilang orang Indonesia kurang piknik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H