"OTT-OTT itu kan nggak bagus sebenarnya, buat negeri ini jelek banget," demikian antara lain kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan.
OTT di atas tentu saja maksudnya Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sering terjadi.
Pernyataan itu disampaikan Luhut dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 yang dilakukan KPK dan beberapa lembaga lain pada Selasa (20/12/2022) di Jakarta.
Konteks pernyataan di atas adalah dalam rangka mendorong terciptanya digitalisasi sebagai upaya mencegah terjadinya korupsi.
"Sedikit-sedikit OTT itu membuat citra negara jadi jelek," kira-kira seperti itulah lanjutan pernyataan Luhut.
Tentu saja niat Luhut baik-baik saja adanya, tapi tak urung gara-gara pernyataan tersebut, menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak.
Seperti soal citra negara yang jelek, belum tentu juga sebenarnya. Justru, pengalaman di China, dengan banyaknya koruptor yang ditangkap dan dihumum berat, citranya jadi positif.
Bisa saja KPK melakukan OTT tanpa diliput pers agar citra Indonesia terlihat baik (dengan asumsi berita tentang OTT berdampak negatif).
Tapi, jika itu yang dilakukan, di mana letak unsur shock therapy-nya agar calon koruptor lain tidak meniru-niru?
Hanya saja, Indonesia itu memang unik. Kalau dipikir-pikir, sudah sering sekali OTT dilakukan KPK, tapi pejabat lain kok tidak kapok-kapok.
Bahkan, pejabat yang terkena OTT pun ada yang tidak memperlihatkan wajah sedih, malah tersenyum kepada para jurnalis.
Nah, kalau begitu, bukankah sebaiknya OTT makin ditingkatkan dan hukuman terhadap koruptor makin diperberat?
Lalu, pengambilalihan aset dari para koruptor untuk jadi aset negara, harus lebih digencarkan. Istilahnya, koruptor itu dimiskinkan.
Untuk masa sekarang, berhubung belum memungkinkan menciptakan kondisi zero corruption, maka OTT tetap perlu.
Kondisi paling ideal memang tidak ada lagi korupsi berkat sistem pencegahan yang sangat baik dan akhlak para aparat negara yang juga sangat baik, tidak punya niat untuk korupsi.
Tapi, mohon maaf, kondisi ideal tersebut terkesan seperti di awang-awang saja. Bisa menurunkan korupsi saja, sudah bisa disebut sebagai keberhasilan.
Jadi, OTT tetap dinilai bagus, dalam arti berhasil meringkus koruptor, ketimbang tetap ada korupsi tapi tidak terdeteksi oleh sistem atau oleh KPK.
Ingat, KPK itu Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan Komisi Pencegahan Korupsi, meskipun Ketua KPK sekarang Firli Bahuri ingin meningkatkan usaha pencegahan.
Tak ada yang keliru bila KPK memperbesar porsi tugasnya untuk sosialisasi pencegahan korupsi.
Namun, tugas utama KPK masih tetap untuk penindakan, memburu para pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi.
Lagipula, KPK dibentuk sebagai respon kurang berjalannya pemberantasan korupsi yang dilakukan institusi yang sudah ada selama ini.
Sudah ada Inspektorat Jenderal di level kementerian, ada kepolisian, ada kejaksaan, dan sebagainya, tapi itu masih belum cukup.
Belum lagi bila dihitung lembaga auditor negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Semoga dengan digitalisasi seperti yang disampaikan Luhut betul-betul bisa efektif meniadakan peluang untuk korupsi.
Tapi, bukan pesimis, tetap ada celah bagi yang berniat jahat, karena sistem digital itu di-setting oleh manusia juga.
Jika manusia yang paham dan diberi kewenangan mengutak-atik sistem digital itu tidak tahan godaan, toh bisa jebol juga.
Kesimpulannya, dua-duanya harus oke, ya sistemnya, ya manusianya, baru korupsi bisa hilang.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H