Memang, tentu saja yang namanya kepuasan bersifat relatif dan juga subjektif. Artinya, sesuatu yang memuskan pada seseorang, belum tentu memuaskan pada orang lain.
Atau, hal yang hari ini kita anggap memuaskan, bisa jadi beberapa bulan kemudian, kita anggap hal yang biasa-biasa saja.
Jika kebetulan ada orang yang menggerutu saja meratapi nasibnya, maka ia akan tetap terpuruk, dan pasti tidak merasakan kepuasan.
Biasanya, mereka yang tidak mampu melihat peluang, cenderung menunggu bantuan dari pihak lain, katakanlah dari pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat.
Padahal, pihak lain itu sendiri berada di luar kendali kita. Dan kalau dipikir-pikir, hal yang diluar kendali tersebut ada banyak sekali, termasuk kondisi ekonomi makro.
Maka, soal harga barang dan jasa yang seperti berlomba-lomba naik, juga soal kenaikan jumlah pengangguran dan penambahan warga miskin, jika diratapi, rasanya tak kan mengubah nasib kita.
Bukannya kita tidak boleh kritis kepada pemerintah. Tapi, dalam konteks pengembangan kompetensi individu, biarlah soal makro tersebut dicarikan solusinya oleh pihak yang berkompeten.
Kecuali, bagi orang yang berkutat sebagai akademisi, pengamat, kolumnis, politisi, atau aktivis organisasi, yang harus "membedah" kondisi makro tersebut.
Bagi kita yang tergolong warga masyarakat biasa, lebih baik fokus pada hal yang secara pribadi kita mampu memegang kendalinya.
Misalnya, kalau kita termasuk yang terkena PHK, jelas masa 2 tahun terakhir ini menjadi masa yang sangat berat.Â
Demikian juga bagi mereka yang menjadi pedagang atau punya usaha memproduksi sesuatu, sangat mungkin omzetnya menurun tajam.