Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Berliku 3 Partai Era Orde Baru, PPP Hadapi Jalan Buntu?

10 September 2022   08:45 Diperbarui: 10 September 2022   08:47 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suharso Monoarfa|dok. Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay, dimuat kumparan.com

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lagi mengalami kisruh internal, setelah dilakukannya Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP yang digelar di Serang, Banten (4/9/2022) yang lalu.

Pada Mukernas tersebut, telah diputuskan bahwa Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa diberhentikan, dan digantikan oleh Muhammad Mardiono.

Namun, Suharso Monoarfa menolak untuk dilengserkan dan menganggap dirinya masih sah sebagai ketua umum. 

Mardiono sendiri seperti disebutkan dalam berita salah satu stasiun televisi, Kamis (8/9/2022), menyatakan yang terjadi bukan pemecatan atas Suharso.

Hanya semacam pembagian tugas saja, kata Mardiono, dengan tujuan Suharso bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai menteri.

Seperti diketahui, sebagai anggota koalisi dalam pemerintahan sekarang, PPP mendapat "jatah" menteri, di mana Suharso menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.

Apapun itu, faktanya telah terjadi krisis internal antar pimpinan partai yang punya basis massa yang beragama Islam itu.

Sungguh berat bagi PPP, pada saat partai lain tengah sibuk-sibuknya melakukan persiapan dalam rangka menghadapi Pemilu 2024, PPP malah dilanda krisis kepemimpinan.

Padahal, posisi PPP sendiri pada beberapa pemilu sebelumnya tidak berhasil masuk partai papan atas. 

Sebagai parpol yang berpengalaman karena lahir di tahun 1973, PPP justru kalah dari sisi perolehan suara dengan partai yang lahir belakangan dan juga berbasis massa Islam, seperti PKB dan PKS.

Semoga saja antara kubu Suharso dan kubu Mardiono bisa melakukan kompromi yang diterima kedua belah pihak.

Jika terjadi kebuntuan, diperkirakan pada Pemilu 2024 mendatang PPP akan semakin ditinggalkan oleh mereka yang dulu memilih PPP, dan bisa berujung dengan tamatnya riwayat PPP.

Sekadar catatan kilas balik, pada awal Orde Baru terbentuk, ada 10 partai yang menjadi peserta Pemilu 1971 (pemilu pertama di masa Orde Baru).

Kemudian, Presiden Soeharto ingin partai yang ada diciutkan jumlahnya. Maka, 4 partai Islam yakni Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Parmusi, bergabung menjadi PPP.

Sedangkan 5 partai lainnya, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia, bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Di antara 5 partai tersebut, yang paling dominan adalah PNI, sehingga boleh dikatakan PDI identik dengan PNI.

Dengan demikian, mulai Pemilu 1977 hingga berakhirnya era Orde Baru pada 1998, di Indonesia hanya ada 3 parpol, yakni Golkar, PPP, dan PDI.

Golkar selalu menang mutlak ketika itu, diikuti oleh PPP di peringkat kedua dan PDI selalu sebagai juru kunci. 

Tapi, semua itu menjadi terbalik pada era reformasi sekarang ini, karena PDI muncul sebagai penguasa dan PPP jadi partai kecil.

Sebetulnya, kebangkitan PDI sudah tercium pada awal dekade 1990-an, tepatnya ketika Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI pada 1993, tapi tidak "direstui" oleh Soeharto.

Sehingga, dengan berbagai upaya yang direstui pemerintah, Megawati pun dilengserkan pada Kongres PDI di Medan pada 1996.

Maka muncullah dualisme di tubuh PDI, meskipun yang diakui pemerintah adalah PDI yang ketua umumnya dijabat oleh Soerjadi. 

Setelah era Orde Baru berakhir, PDI versi Megawati dideklarasikan sebagai PDI Perjuangan (PDIP) pada 14 Februari 1999.

Namun demikian, karena dinilai sebagai lanjutan dari PDI, maka PDIP tetap memperingati tanggal 10 Januari sebagai hari ulang tahunnya, mengacu pada pendirian PDI pada 10 Januari 1973.

Adapun Golongan Karya yang merupakan kendaraan politiknya Presiden Soeharto, awalnya dimaksudkan menjadi tempat berhimpunnya beberapa organisasi fungsional.

Dulu, ada 3 jalur di Golkar yang disebut dengan Jalur ABG, yakni ABRI (militer), birokrat, dan golongan fungsional. Dalam hal ini, kalangan militer adalah purnawirawan TNI/Polri dan birokrat adalah pensiunan pejabat pemerintahan.

Tapi, bukan rahasia lagi, pegawai negeri sipil (PNS), karyawan BUMN/D, beserta keluarga masing-masing diminta untuk memilih Golkar pada Pemilu selama Orde Baru.

Padahal, Pemilu selama rezim Soeharto memakai semboyan "luber", yakni dilakukan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Partai Golkar sekarang memang terusan dari Golkar era Orde Baru, tapi dulu Golkar emoh disebut sebagai partai. Makanya, peserta pemilu adalah 2 partai dan satu golongan, yakni Golkar.

Golkar versi reformasi harus bersalin rupa dengan terang-terangan menyebut sebagai Partai Golkar, karena di saat tumbangnya Orde Baru, tedengar juga tuntutan dari sebagian masyarakat agar Golkar dibubarkan.

Dengan cerdik, Golkar melakukan transformasi, sehingga tidak lagi bergaya Orde Baru, tapi juga merasa bagian dari kelompok pendukung reformasi. 

Tapi, justu di era reformasi pula Golkar mengalami "pembelahan" dengan lahirnya beberapa partai yang dipimpin oleh mantan kader Golkar, seperti Partai Hanura, Gerindra, dan Nasdem.

Nah, jelaslah bahwa ke 3 partai yang lahir di era Orde Baru, semuanya telah menempuh jalan panjang dan berliku.

Ketiganya masih eksis hingga hari ini, tapi dengan nasib yang sudah berbeda jauh dibandingkan dengan yang dialaminya dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun