Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Cara Bank Menghapus Kredit Macet Perlu Ditiru Pedagang

14 September 2022   05:12 Diperbarui: 16 September 2022   14:45 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jual beli|dok. Shutterstock, dimuat suara.com

Para pedagang pada umumnya tidak membolehkan pelanggannya berbelanja dengan sistem utang. Maksudnya, pelanggan tidak boleh mengambil barangnya duluan, tapi dibayarnya beberapa hari kemudian.

Namun, untuk warung yang berada di area pemukiman, di mana penjual dan pelanggan sudah saling mengenal, bahkan mungkin bertetangga, si penjual tak sampai hati bila menolak permintaan pelanggan yang ingin berutang.

Bahkan, untuk toko di area pasar atau di pusat kota pun, terhadap pelanggan tertentu yang memang telah dikenalnya secara baik, ada pedagang yang membolehkan pelanggannya berutang.

Lalu, apakah karena sudah saling kenal, para pelanggan yang berutang akan memenuhi janjinya untuk membayar beberapa hari kemudian?

Ya, mungkin sebagian besar akan memenuhi janjinya. Tapi, biasanya ada saja sebagian kecil pelanggan yang minta penundaan pembayaran, bahkan ada yang cuek bebek saja ketika ditagih.

Jangankan di warung kecil yang catatan utang pelanggan hanya di buku kecil tanpa tanda tangan pelanggan, di toko besar yang pakai nota pembelian yang ada catatan "belum lunas", juga ada saja yang tidak dilunasi pelanggan.

Banyak risiko dalam berbisnis dan salah satu risiko tersebut disebut sebagai "piutang tak tertagih" atau dalam bahasa Inggris lazim disebut "bad debt".

Sekadar catatan, istilah "utang" artinya berlaku bagi pembeli yang belum membayar lunas, yang dipandang dari sisi si penjual disebut dengan "piutang".

Jadi, meskipun suatu toko mencatatkan omzet penjualan yang tinggi, bisa saja malah mendatangkan kerugian gara-gara piutang tak tertagihnya juga tinggi.

Maka, bagaimana mengelola piutang secara tepat, perlu diketahui oleh para pelaku usaha. Tentu, jika bisa konsisten menerapkan kebijakan tak membolehkan pelanggan membeli secara kredit, akan lebih baik.

Tapi, pikirkan pula dampaknya, jangan gara-gara tak boleh pembelian secara kredit, omzet jadi turun. Padahal, mungkin banyak para pelanggan yang baik yang hanya tertarik membeli dengan berutang.

Toh, kalau pelanggan tersebut seorang pegawai yang sudah pasti pada tanggal gajian akan melunasi utangnya, tentu baik-baik saja.

Tak ada pakem dalam buku teks yang menyebutkan berapa jumlah piutang tak tertagih yang masih dalam batas dapat ditoleransi, dalam arti sudah masuk dalam kalkulasi bisnis.

Secara umum, piutang tak tertagih sebesar 1 persen dari total piutang, tergolong bagus. Jika mencapai 3 persen, ini sudah lampu kuning, dan 5 persen bisa dianggap lampu merah alias berbahaya bagi kelangsungan usaha.

Dalam teori akuntansi, lazim sebuah perusahaan menyusun "analisis umur piutang". Piutang yang menunggaknya baru beberapa hari, tingkat ketertagihannya masih tinggi.

Namun, untuk piutang yang sudah lama umurnya, katakanlah di atas 1 tahun, boleh dikatakan sangat tipis harapan akan dilunasi pelanggan.

Dalam hal ini, seharusnya hal tersebut digolongkan sebagai "piutang macet" yang pada tahap berikutnya akan dihapus dari pembukuan perusahaan.

Lho kok dihapus? Enak banget dong pelanggan yang dihapus utangnya. Begini, pelanggan yang dihapus tersebut tentu tidak akan tahu kalau utangnya sudah dihapus.

Soalnya, penghapusan tersebut dilakukan secara internal pada catatan perusahaan, bukan untuk diinformasikan kepada pelanggan yang dihapus utangnya.

Istilahnya pun jika mengacu pada praktik yang lazim di perbankan, disebut dengan "hapus buku", bukan "hapus tagih". 

Artinya, secara pembukuan sudah dihapus, tapi bank masih bisa menagih. Bahkan, jika nasabah yang sudah dihapus utangnya, namun berhasil ditagih, ini disebut dengan mendapat "harta karun".

Kembali ke soal piutang dalam perdagangan, bila si pelanggan yang telah dihapus utangnya tiba-tiba nongol dan mau belanja lagi, maka utang lamanya harus dibayarnya terlebih dahulu. Kalau tidak, ia tak dibolehkan belanja.

Hanya saja, biasanya pelanggan yang punya utang yang sudah "karatan", akan menghilang, sehingga sangat kecil kemungkinan tiba-tiba nongol.

Justru, piutang tersebut terpaksa dilakukan penghapusan, karena pelanggan yang berutang sudah tidak bisa ditemui atau dihubungi. 

Ilustrasi jual beli|dok. Shutterstock, dimuat suara.com
Ilustrasi jual beli|dok. Shutterstock, dimuat suara.com

Nah, bagaimana teknis menghapus piutang tak tertagih? Ini ada beberapa tahapan yang sebelumnya harus dilalui, yang dicatat dalam pembukuan si pelaku usaha atau perusahaan.

Pertama, perusahaan akan membuat akun "cadangan atas piutang tak tertagih" atau allowance for bad debt. Cadangan ini menjadi beban perusahaan dan besarnya, misalkan 3 persen dari total piutang yang ada.

Misalkan ada daftar piutang yang jumlah kesemuanya katakanlah Rp 100. Maka, di bawah total Rp 100 tersebut ditulis "cadangan piutang tak tertagih Rp 3 (asumsi 3 persen dari total piutang), sehingga jumlah net piutang menjadi Rp 97.

Kedua, bila nantinya piutang tak tertagih itu ternyata dibayar oleh pelanggan, cadangan yang sudah dibuku bisa dikurangi atau diambil lagi, sehingga menjadi pendapatan bagi perusahaan.

Ketiga, saat suatu piutang tak tertagih dinilai layak untuk dihapus, maka nama si pengutang akan hilang dari daftar piutang atas beban cadangan yang sudah dibentuk.

Mengacu pada contoh di atas, maka setelah dihapus, total daftar piutang bukan lagi Rp100, tapi Rp97. Dan cadangannya yang Rp3 pun sudah tidak ada, karena sudah habis dipakai untuk menghapus piutang sebesar Rp3.

Cara pencadangan piutang tak tertagih hingga melakukan penghapusan tersebut, sangat lazim di industri perbankan, karena bisnis utama bank memang dari meminjamkan uang ke nasabah.

Jika ada nasabah yang menunggak sudah sangat lama dan tidak lagi dihubungi petugas bank, sangat mungkin kredit macet atas nama nasabah tersebut sudah dihapus.

Tapi, nasabah yang dihapus jangan merasa bangga dulu. Namanya akan masuk daftar hitam perbankan, sehingga bila mengajukan kredit di bank manapun di Indonesia, pasti akan ditolak.

Jelaslah, sangat berisiko sebetulnya, bila nasabah mempunyai tunggakan kredit yang tidak terbayar. Hal itu juga berlaku untuk kredit tanpa agunan, karena masuk daftar hitam tersebut sudah hukuman yang berat.

Jangan lupa, bagi kita umat beragama, yang namanya utang wajib dibayar dan berat dosanya bagi pengemplang utang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun