Setelah bertahan demikian lama, Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga acuannya sebesar 0,25 persen menjadi 3,75 persen.
Keputusan yang sebetulnya sudah diduga banyak pengamat ekonomi itu diambil pada Rapat Dewan Gubernur BI pada tanggal 22 dan 23 Agustus 2022 lalu.
Perlu diketahui, suku bunga sebelumnya sebesar 3,5 persen merupakan yang terendah sepanjang sejarah Indonesia dan berlangsung selama 19 bulan, tepatnya sejak Februari 2021.
Suku bunga BI selalu menjadi acuan bagi bank-bank yang beroperasi di Indonesia dalam menetapkan suku bunga bagi nasabah penyimpan dana dan juga nasabah peminjam di bank masing-masing.
Langkah BI di atas dirasa sangat penting agar nilai tukar rupiah tidak melemah terhadap sejumlah mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat (AS).
Bayangkan, jika suku bunga tetap rendah, padahal inflasi mulai naik, artinya bagi para nasabah penyimpan dana di bank dalam rupiah, jelas sangat merugikan.
Dengan demikian, bagi mereka yang punya dana jumbo, bukan tidak mungkin ramai-ramai mengkonversi rupiahnya menjadi dolar AS.
Nah, dengan kenaikan suku bunga, sedikit banyak akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap rupiah tidak berkurang.
Dan memang, secara teoritis, dalam kondisi inflasi biasanya suku bunga akan dinaikkan, agar nilai uang tidak tergerus signifikan.Â
Artinya, BI berpikir secara realistis saja. Mungkin karena inflasi yang terjadi sekarang diperkirakan tidak gampang menurunkannya, maka kenaikan suku bunga tak bisa lagi dihindarkan.
Seperti diketahui, tanpa perlu mengutip data resmi, masyarakat sudah sangat merasakan kesulitan karena harga barang dan jasa pada naik.
Bukankah kenaikan harga banyak barang dan jasa itu, yang dalam pengertian masyarakat umum disebut sebagai inflasi?
Apalagi mengingat sebentar lagi pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebelum itu, harga sejumlah bahan makanan sudah melambung.
Dengan harga BBM naik, akan banyak dampak ikutannya, karena biaya transportasi akan meningkat. Bukan tidak mungkin harga barang yang sudah naik itu, akan bertambah naik.
Masalah kenaikan harga tersebut tidak saja karena faktor yang ada di dalam negeri, tapi terutama juga dipengaruhi oleh faktor global.
Peperangan yang meletus di Ukraina telah menyebabkan kelangkaan produksi dan distribusi bahan pangan dan juga energi.Â
Kalau berbicara data, inflasi pada bulan Juli 2022 secara year on year (yoy), artinya dihitung selama setahun terakhir hingga Juli 2022, tercatat sebesar 4,94 persen.
Angka yang nyaris 5 persen itu , ibaratnya sudah merupakan lampu kuning bagi pemerintah dan dunia usaha. Bagi masyarakat berarti daya belinya semakin melemah bila penghasilannya tidak bertambah.
Kembali ke soal suku bunga, harus diakui, sebetulnya sebisa mungkin pemerintah menginginkan suku bunga rendah bisa dipertahankan.Â
Hal itu karena pemerintah lebih berpihak pada pelaku usaha yang biasanya meminjam kepada bank untuk mendanai atau mengembangkan usahanya.Â
Jika dunia usaha berkembang, maka banyak keuntungannya dilihat dari sisi ekonomi makro. Lapangan kerja bisa bertambah, pemasukan negara pun bisa naik dari pajak atas laba pelaku bisnis.
Nah, di lain pihak, jika suku bunga naik, tentu akan menambah beban pelaku usaha, karena jumlah cicilan pengembalian kreditnya kepada bank akan naik pula.
Masalahnya, untuk saat ini, seperti telah disinggung di atas, kondisinya untuk mempertahankan suku bunga rendah sudah tak memungkinkan lagi.
Maka, kesiapan masyarakat dalam menghadapi masa sulit ini sangat diperlukan. Jika tidak punya persiapan, angka kemiskinan berpotensi mengalami kenaikan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H