Bukankah kenaikan harga banyak barang dan jasa itu, yang dalam pengertian masyarakat umum disebut sebagai inflasi?
Apalagi mengingat sebentar lagi pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebelum itu, harga sejumlah bahan makanan sudah melambung.
Dengan harga BBM naik, akan banyak dampak ikutannya, karena biaya transportasi akan meningkat. Bukan tidak mungkin harga barang yang sudah naik itu, akan bertambah naik.
Masalah kenaikan harga tersebut tidak saja karena faktor yang ada di dalam negeri, tapi terutama juga dipengaruhi oleh faktor global.
Peperangan yang meletus di Ukraina telah menyebabkan kelangkaan produksi dan distribusi bahan pangan dan juga energi.Â
Kalau berbicara data, inflasi pada bulan Juli 2022 secara year on year (yoy), artinya dihitung selama setahun terakhir hingga Juli 2022, tercatat sebesar 4,94 persen.
Angka yang nyaris 5 persen itu , ibaratnya sudah merupakan lampu kuning bagi pemerintah dan dunia usaha. Bagi masyarakat berarti daya belinya semakin melemah bila penghasilannya tidak bertambah.
Kembali ke soal suku bunga, harus diakui, sebetulnya sebisa mungkin pemerintah menginginkan suku bunga rendah bisa dipertahankan.Â
Hal itu karena pemerintah lebih berpihak pada pelaku usaha yang biasanya meminjam kepada bank untuk mendanai atau mengembangkan usahanya.Â
Jika dunia usaha berkembang, maka banyak keuntungannya dilihat dari sisi ekonomi makro. Lapangan kerja bisa bertambah, pemasukan negara pun bisa naik dari pajak atas laba pelaku bisnis.
Nah, di lain pihak, jika suku bunga naik, tentu akan menambah beban pelaku usaha, karena jumlah cicilan pengembalian kreditnya kepada bank akan naik pula.