Setelah terungkapnya kasus tersebut, menarik untuk ditunggu, apakah pada tahun depan jalur mandiri itu akan dihapus?
Menghapus jalur mandiri, agaknya kurang bijak, mengingat banyak juga maba baru yang diterima secara objektif, tidak menyuap.
Bahkan, ada calon mahasiswa yang sewaktu mengisi formulir, dengan jelas mencantumkan kemampuan orang tuanya yang pas-pasan untuk membayar uang kuliah, tapi tetap lulus.
Artinya, orang tak berpunya pun, kalau hasil tesnya menyatakan lolos passing grade, ya tetap diterima. Memang, jalur mandiri tersebut semangatnya adalah sebagai sarana keberpihakan.
Keberpihakan yang tepat adalah terciptanya subsidi silang, di mana paling tidak ada porsi tertentu yang diberikan kepada mahasiswa yang orang tuanya kurang mampu secara ekonomi.
Kasus suap di Unila memang telah mencoreng citra penerimaan maba jalur mandiri. Namun, tindakan koreksi di masa depan, solusi terbaik adalah dengan memperbaiki tata kelolanya.
Artinya, proses penerimaan maba di jalur mandiri harus memenuhi prinsip tata kelola yang baik, yang terdiri dari trasparency, accountability, responsibility, independence, dan fairness.
Kemudian, rektor dan jajarannya harus orang-orang yang kredibel, berintegritas tinggi dan melaksanakan seleksi jalur mandiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
Demikian pula aspek pengawasannya, tentu perlu diperketat lagi, kalau perlu melibatkan pengawas dari luar PTN atau dari luar Kemendikbudristek.
Kepada masyarakat, khususnya para orang tua yang punya anak yang akan masuk perguruan tinggi, diharapkan kesadarannya untuk tidak kasak-kusuk lewat "jalan belakang".
Bayangkan, bila para mahasiswa baru sejak awal sudah membudayakan praktik suap, nanti sewaktu mereka memasuki dunia kerja, mungkin akan melakukan aksi suap lagi.