Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rawan Suap, Perlukah Penerimaan Maba Jalur Mandiri Dihapus?

23 Agustus 2022   05:49 Diperbarui: 24 Agustus 2022   17:52 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Rektorat Unila|dok. Antara/Dian Hadiyatna

Ada beberapa jalur dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru (maba) di perguruan tinggi negeri, yakni seperti yang diuraikan berikut ini. 

Pertama, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Jalur ini berdasarkan penelusuran dan portofolio akademik siswa yang terlihat pada nilai rapornya di sekolah menengah.

Kedua, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang berdasarkan hasil ujian tulis secara serentak. Jalur ini terbilang paling ketat tingkat persaingannya.

Ketiga, Seleksi Mandiri atau jalur mandiri yang ditetapkan oleh masing-masing PTN dan dapat memanfaatkan nilai hasil saat mengikuti SBMPTN.

Biasanya, calon maba yang gagal pada jalur pertama dan kedua, akan berharap banyak bisa lolos pada jalur ketiga. 

Masalahnya, ada anggapan bahwa pada jalur mandiri, mereka yang orangtuanya mampu secara ekonomi dan bersedia membayar tarif uang kuliah yang tinggi, punya peluang yang lebih besar untuk diterima.

Terlepas dari apakah anggapan itu betul atau tidak, jalur mandiri juga ternyata rawan terjadinya kasus penyuapan dari pihak orang tua calon maba kepada pihak berkompeten di PTN yang dituju. 

Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila). OTT tersebut berkaitan dengan kasus dugaan suap penerimaan maba jalur mandiri di Unila.

Perkembangan berikutnya, seperti diberitakan Kompas.id (21/8/2022), tiga unsur pimpinan di Unila telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Jelaslah, kampus yang selama ini dianggap sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dan pencetak kader-kader terbaik bangsa yang penuh idealisme, juga ada "tikus-tikusnya".

Kasus di atas tentu saja sangat memprihatinkan dan sangat disesalkan, karena integritas pimpinan kampus seperti di Unila tergolong rendah. 

Setelah terungkapnya kasus tersebut, menarik untuk ditunggu, apakah pada tahun depan jalur mandiri itu akan dihapus?

Menghapus jalur mandiri, agaknya kurang bijak, mengingat banyak juga maba baru yang diterima secara objektif, tidak menyuap.

Bahkan, ada calon mahasiswa yang sewaktu mengisi formulir, dengan jelas mencantumkan kemampuan orang tuanya yang pas-pasan untuk membayar uang kuliah, tapi tetap lulus.

Artinya, orang tak berpunya pun, kalau hasil tesnya menyatakan lolos passing grade, ya tetap diterima. Memang, jalur mandiri tersebut semangatnya adalah sebagai sarana keberpihakan.

Keberpihakan yang tepat adalah terciptanya subsidi silang, di mana paling tidak ada porsi tertentu yang diberikan kepada mahasiswa yang orang tuanya kurang mampu secara ekonomi.

Kasus suap di Unila memang telah mencoreng citra penerimaan maba jalur mandiri. Namun, tindakan koreksi di masa depan, solusi terbaik adalah dengan memperbaiki tata kelolanya.

Artinya, proses penerimaan maba di jalur mandiri harus memenuhi prinsip tata kelola yang baik, yang terdiri dari trasparency, accountability, responsibility, independence, dan fairness.

Kemudian, rektor dan jajarannya harus orang-orang yang kredibel, berintegritas tinggi dan melaksanakan seleksi jalur mandiri dengan penuh rasa tanggung jawab.

Demikian pula aspek pengawasannya, tentu perlu diperketat lagi, kalau perlu melibatkan pengawas dari luar PTN atau dari luar Kemendikbudristek.

Kepada masyarakat, khususnya para orang tua yang punya anak yang akan masuk perguruan tinggi, diharapkan kesadarannya untuk tidak kasak-kusuk lewat "jalan belakang".

Bayangkan, bila para mahasiswa baru sejak awal sudah membudayakan praktik suap, nanti sewaktu mereka memasuki dunia kerja, mungkin akan melakukan aksi suap lagi.

Lalu, setelah mereka diterima bekerja, akan mencari penghasilan tidak halal dengan menerima gratifikasi, agar modalnya sejak masuk kuliah hingga masuk kerja bisa kembali.

Kalau mau jujur, sebetulnya kerawanan adanya "permainan uang" dalam pendidikan kita, sudah terjadi sejak tingkat SD, ketika orangtua tertentu ingin anaknya masuk SD favorit.

Begitu seterusnya, saat masuk SMP dan SMA favorit. Jalur undangan untuk masuk PTN pun karena berbasis nilai rapor, juga rawan rekayasa nilai rapor.

Tak bisa lain, selain integritas para pejabat sekolah/kampus, kontribusi masyarakat juga sangat diperlukan untuk tidak coba-coba menyogok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun