Ungkapan "created by the poor, stolen by the rich" baru-baru ramai di media massa, sebagai respon atas permohonan artis terkenal Baim Wong untuk mendapatkan hak paten atas nama Citayam Fashion Week (CFW).
Jika saja Baim berhasil, maka sebagai artis yang tajir melintir itu, ia bisa dianggap sebagai "mencuri" apa yang dirintis oleh para remaja kelas pinggiran asal Citayam dan sekitarnya dalam kreasi CFW-nya.
Syukurlah, Baim akhirnya mundur dan tidak melanjutkan proses pendaftaran hak paten tersebut, sehingga polemik yang sempat mencuat, menghilang dengan sendirinya.
Tapi, ngomong-ngomong tentang orang kaya, ya katakankah mereka yang tergolong kelas menengah ke atas, menuai untung dari apa yang dirintis warga kelas menengah ke bawah, sebetulnya sudah lama terjadi, dan bahkan dianggap biasa.
Jadi, apa kata orang bahwa "orang kaya makin kaya, sedangkan orang miskin makin miskin", mungkin ada benarnya.Â
Namun, yang lebih tepat adalah, orang miskin pun yang kreatif juga mendapat keuntungan, hanya saja, yang dikeruk orang kaya jauh lebih besar dari yang diperoleh orang kelas bawah.
Artinya, memang yang miskin tidak tambah miskin, namun kesenjangan kesejahteraan antar kelompok atas-bawah ini bisa semakin timpang.
Tapi, ketimpangan tersebut bisa disiasati bila pemerintah berhasil menarik pajak yang bersifat progresif dari kelompok berpunya, dan pajak tersebut digunakan sebagian besar untuk membantu kalangan tak berpunya.
Atau, mereka yang punya kemampuan ekonomi dengan sukarela menambah bantuannya, baik berupa zakat dan sedekah, maupun donasi atau bantuan sosial, kepada masyarakat marjinal.
Apa contohnya "created by the poor, stolen by the rich" yang terjadi sejak dulu? Banyak sekali sebetulnya, tapi beberapa di antaranya akan diuraikan sekilas di bawah ini.
Sepak bola adalah olahraga yang paling populer di dunia. Jika ditelusuri dari sejarahnya, ada yang menuliskan sepak bola berasal dari Inggris, ada juga yang menyebut dari China.
Namun, sejarahnya dulu, sepak bola yang menggunakan kulit binatang yang digulung-gulung, merupakan olahraga masyarakat kelas bawah.
Tapi, coba lihat perkembangannya pada 20 tahun terakhir ini, bukankah sepak bola menjadi sebuah industri yang bernilai raksasa? Buktinya, banyak konglomerat yang membeli klub sepak bola.
Atau, mari kita lihat perkembangan di bidang musik. Siapa tidak kenal dengan lagu dangdut? Dulu, dangdut dianggap kampungan dan orang kota tidak mau menyanyikannya.
Kemudian, setelah dangdut semakin populer, justru para pemodal di industri musik turut berbisnis dengan musik dangdut, baik sebagai produser rekaman, mengadakan konser, dan berbagai program dangdut lainnya.
Demikian pula bila kita lihat sejarah musik jazz, lagu rap, dan tarian break-dance. Semuanya, bermula dari kalangan bawah yang setelah terkenal "dibajak" kalangan atas dan dibungkus sebagai bagian dari budaya pop.
Ariel Heryanto, pada opininya di Harian Kompas (6/8/2022) mengatakan bahwa budaya pop bagian dari kehidupan khalayak urban sehari-hari.
Perlu diingat, yang ngepop tersebut datang dan pergi silih berganti, semua itu biasa saja, tanpa perlu diatur atau disahkan pemerintah.
Tapi, untuk kasus Citayam Fashion Week (CFW), menjadi heboh karena rasa keadilan warganet jadi terusik. Bahkan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga menyentil Baim Wong.
Kalau saja Baim tidak "kesusu", tapi secara bertahap mengkondisikan terlebih dahulu, mungkin penolakan warganet tidak begitu frontal.
Itupun Baim seharusnya tidak mendaftarkan hak paten atas nama perusahaan pribadinya, melainkan atas nama konsorsium yang melibatkan warga yang menjadi pionir CFW.
Terlepas dari soal CFW, hal ini sebetulnya bukan soal kaya versus miskin, tapi soal kelompok well educated memanfaatkan kelompok yang relatif kurang terdidik.
Masalahnya, orang kaya identik dengan terdidik, dan orang miskin identik dengan kurang terdidik. Makanya, kunci agar masyarakat bawah bisa naik kelas adalah dengan kemauan belajar.
Belajar tidak hanya melalui sekolah formal, tapi bisa otodidak. Tanpa gelar akademis pun, mereka yang rajin belajar, akan mengerti tentang pentingnya hak paten dan mampu memanfaatkan kreativitas agar terkonversi menjadi cuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI