Itulah yang dilakukan Federal Reserve Bank (The Fed) yang merupakan bank sentral AS, yang semakin gencar menaikkan suku bunga.
Bagaimana dengan kebijakan BI? Di sinilah terjadi sedikit anomali, karena BI masih tetap mempertahankan suku bunga sebesar 3,5 persen.
Bank-bank komersial yang beroperasi di Indonesia, selalu menunggu kebijakan BI sebelum menetapkan suku bunga di masing-masing bank. Bila suku bunga acuan BI naik, bank-bank akan ikut juga naik.
Tapi, suku bunga bank memang ibarat pedang bermata dua, karena ada dua kelompok yang terdampak, yakni kelompok masyarakat yang meminjam kredit dari bank, serta kelompok yang menyimpan dana di suatu bank.
Menaikkan suku bunga artinya menyelamatkan uang kelompok masyarakat yang menyimpan di bank dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito.
Namun, kenaikan suku bunga jelas menjadi penderitaan tambahan bagi kelompok peminjam kredit. Penderitaan utamanya adalah harga-harga yang naik, lalu ditambah dengan cicilan suku bunga kredit yang juga naik.
Keputusan BI, bagaimanapun harus diambil. Dan Gubernur BI Perry Warjiyo yakin bahwa keputusannya menahan suku bunga merupakan yang terbaik.
Tentu, hal ini jadi berita baik bagi masyarakat yang punya pinjaman di bank, tapi agaknya disambut dingin oleh para penyimpan dengan saldo relatif besar.
Pemilik dana tersebut, jika terlalu kecewa, dengan gampang memindahkan dananya ke luar negeri, alias ada risiko pelarian dana. Tapi, mudah-mudahan tidak terjadi.
Yang lebih mungkin adalah para investor asing yang membeli saham dan obligasi yang dijual di Bursa Efek Indonesia (BEI), akan ramai-ramai melakukan aksi jual.