Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

BI Terlalu PD Tahan Suku Bunga, Hati-hati Pelarian Modal

25 Juli 2022   11:15 Diperbarui: 25 Juli 2022   14:53 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suku bunga| Dok Thinkstocks/Sapunkele via Kompas.com

"Hantu" inflasi ternyata bukan sekadar ancaman lagi, tapi sudah terjadi. Di negara kita, inflasi pada Juni 2022 lalu secara year-on-year (selama setahun terakhir, Juni 2021-Juni 2022), tercatat sebesar 4,35 persen.

Angka di atas merupakan rekor tertinggi sejak Juni 2017 lalu dan diperkirakan akan mengalami kenaikan lagi hingga akhir tahun ini.

Tapi, terlepas dari data statistik di atas, ibu-ibu rumah tangga sudah terlalu sering menjerit ketika berbelanja di pasar. Harga cabai, bawang, minyak goreng, telur, daging sapi, dan mungkin masih banyak lagi yang lainnya, naik cukup tajam.

Demikian pula harga gas elpiji non subsidi (ukuran 5 kilogram ke atas), dan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi seperti Pertamax, juga lebih menguras kantong.

Namun, perlu diketahui, kondisi di Indonesia masih relatif baik jika dibandingan dengan beberapa negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.

Seperti dikutip dari voaindonesia.com (14/7/2022), inflasi AS dalam setahun terakhir naik menjadi 9,1 persen (sebelumnya 8,6 persen) dan merupakan angka tertinggi baru selama 41 tahun.

Kemudian, inflasi di zona Euro (Eropa) juga mencetak rekor baru dengan mencapai angka 8,6 persen year-on-year pada Juni 2022 (cnbcindonesia.com, 19/7/2022). 

Situasi yang memburuk di AS dan Eropa tersebut, sudah merupakan alarm keras bagi negara-negara tersebut, karena ditafsirkan bahwa resesi makin dekat.

Nah, inflasi sangat erat kaitannya dengan suku bunga yang ditetapkan oleh bank sentral di masing-masing negara. Di Indonesia, fungsi bank sentral dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).

Suku bunga secara teori akan mengikuti inflasi. Jika inflasi naik, suku bunga naik, agar dana masyarakat di perbankan atau yang tertanam pada instrumen keuangan seperti obligasi tidak tergerus nilainya.

Itulah yang dilakukan Federal Reserve Bank (The Fed) yang merupakan bank sentral AS, yang semakin gencar menaikkan suku bunga.

Bagaimana dengan kebijakan BI? Di sinilah terjadi sedikit anomali, karena BI masih tetap mempertahankan suku bunga sebesar 3,5 persen.

Bank-bank komersial yang beroperasi di Indonesia, selalu menunggu kebijakan BI sebelum menetapkan suku bunga di masing-masing bank. Bila suku bunga acuan BI naik, bank-bank akan ikut juga naik.

Tapi, suku bunga bank memang ibarat pedang bermata dua, karena ada dua kelompok yang terdampak, yakni kelompok masyarakat yang meminjam kredit dari bank, serta kelompok yang menyimpan dana di suatu bank.

Menaikkan suku bunga artinya menyelamatkan uang kelompok masyarakat yang menyimpan di bank dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito.

Namun, kenaikan suku bunga jelas menjadi penderitaan tambahan bagi kelompok peminjam kredit. Penderitaan utamanya adalah harga-harga yang naik, lalu ditambah dengan cicilan suku bunga kredit yang juga naik.

Gubernur BI Perry Warjiyo|dok. investor.id
Gubernur BI Perry Warjiyo|dok. investor.id

Keputusan BI, bagaimanapun harus diambil. Dan Gubernur BI Perry Warjiyo yakin bahwa keputusannya menahan suku bunga merupakan yang terbaik.

Tentu, hal ini jadi berita baik bagi masyarakat yang punya pinjaman di bank, tapi agaknya disambut dingin oleh para penyimpan dengan saldo relatif besar.

Pemilik dana tersebut, jika terlalu kecewa, dengan gampang memindahkan dananya ke luar negeri, alias ada risiko pelarian dana. Tapi, mudah-mudahan tidak terjadi.

Yang lebih mungkin adalah para investor asing yang membeli saham dan obligasi yang dijual di Bursa Efek Indonesia (BEI), akan ramai-ramai melakukan aksi jual.

Hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membeli saham atau obligasi di bursa saham asing. Artinya, harga saham di BEI akan jeblok dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menukik drastis, yang merugikan investor domestik.

BI yang terlalu percaya diri (PD) bisa jadi bumerang. Apakah rupiah akan kuat menahan gempuran mata uang asing, juga akan menjadi persoalan. Risiko pelemahan nilai rupiah (depresiasi) harus dipertimbangakan dengan cermat.

Perlu diketahui, suku bunga acuan BI sebesar 3,5 persen merupakan yang terendah sepanjang sejarah dan telah bertahan selama 18 bulan.

Memang, alasan BI lebih pada melihat inflasi inti, yakni inflasi yang tidak memperhitungkan kenaikan harga bahan makanan dan energi, karena dua hal ini sangat fluktuatif.

Tapi, bukankah yang menjadi jerirtan masyarakat, justru harga makanan dan energi, yang kali ini bukan fluktiatif malah konsisten naik.

Sebagai masyarakat, harapan kita semoga ekonomi Indonesia akan baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun