Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Remaja Citayam Itu Anak Jakarta Juga

17 Juli 2022   07:03 Diperbarui: 17 Juli 2022   09:10 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Provinsi DKI Jakarta dulu terkenal dengan kesumpekannya. Ada ruang publik seperti area taman kota yang diokupasi oleh para pedagang yang membangun kios-kios semi permanen tak berizin.

Tak sedikit pula warga yang rata-rata para perantau dengan kemampuan ekonomi rendah, membangun tempat berlindung berupa rumah dari triplek atau papan bekas di area yang tadinya berupa ruang publik.

Tapi, mungkin sejak Joko Widodo menjadi gubernur DKI Jakarta hingga sekarang ini, semakin banyak lokasi pemukiman liar dan kios-kios tak berizin, dikonversi menjadi ruang publik yang cantik.

Maka, meskipun tingkat polusi di ibu kota tergolong parah, namun relatif tidak sulit menemukan taman. Sebagian di antaranya merupakan ruang terbuka yang menghijau, hutan kota, dan juga ada area penampung air.

Memang, jika berbicara idealnya, ruang terbuka hijau di Jakarta belum mencapai rasio yang diharapkan. Tapi, dibandingkan kondisi di masa lalu, sudah ada peningkatan.

Namun, berbicara tentang Jakarta, tak bisa melepaskan diri dari kawasan penyangga di sekitarnya, meskipun kawasan tersebut secara administrasi pemerintahan bukan lagi masuk Provinsi DKI Jakarta.

Kawasan penyangga atau populer juga disebut dengan "Jakarta Coret" itu terdiri dari Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi (semuanya masuk Provinsi Jawa Barat).

Kemudian, juga Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, yang semuanya termasuk dalam Provinsi Banten.

Kawasan pinggir itu sering disebut dengan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), atau jika menyatu dengan Jakarta jadi Jabodetabek.

Soalnya, DKI Jakarta dan "Jakarta Coret" sudah terintegrasi, baik yang bersifat positif maupun negatif. Salah satu contoh positif adalah sistem transportasi publiknya sudah menyatu. 

Adapun contoh negatifnya, kemacetan lalu lintasnya juga menyatu. Bahkan, kemacetan di kawasan pinggiran pada jam berangkat dan pulang kerja, lebih parah, karena jalan yang sempit.

Musibah banjir pun menyatu, apalagi ada banjir kiriman dari kawasan Bogor yang cukup sering terjadi. Artinya, derita orang Jakarta ya derita orang Bodetabek juga, demikian juga bahagianya.

Bukti yang tak terbantahkan bahwa penyakit Jakarta adalah penyakit Bodetabek juga, terlihat ketika Covid di Jakarta melonjak, maka melonjak juga kasus di Bodetabek.

Jadi, sekali lagi, Jakarta dan "Jakarta Coret" tak bisa dipisahkan. Bukankah sebagian besar para pekerja di Jakarta justru berdomisili di kawasan penyangga tersebut?

Nah, jika ruang publik di Jakarta dimanfaatkan oleh remaja Citayam (masuk Kabupaten Bogor), itu justru konsekuensi dari tak terpisahkannya Jakarta dengan kawasan penyangga ibu kota.

Makanya, tak heran, bila sekarang ini lagi marak fenomena "Citayam Fashion Week" (CFW) yang mengambil panggung di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.

Sebetulnya, para remaja penggiat CFW bukan hanya dari Citayam dan Bojonggede saja, tapi juga dari berbagai kawasan Bodetabek lainnya.

Warga yang ber-KTP DKI Jakarta jangan memandang warga Bodetabek sebagai orang luar, soalnya pada dasarnya mereka juga orang Jakarta. 

Banyak sekali remaja Bodetabek yang orangtuanya dulu tinggal di Jakarta, kemudian karena tergusur, "melarikan diri" ke kawasan penyangga.

Atau, kalaupun tidak tergusur, sebagian adalah sebagai dampak dari bagi-bagi warisan. Dari sebuah rumah di Jakarta yang dijual, katakanlah dibagi empat, maka seorang ahli waris hanya mampu membeli rumah di luar Jakarta.

Jika trotoar yang lebar dan indah di Jakarta Pusat dijadikan catwalk oleh anak-anak Citayam, ya sah-sah saja. Apalagi, ruang publik di area pemukiman di luar DKI Jakarta memang langka.

Selain ramainya berita tentang CFW, ada lagi ruang publik di Jakarta Selatan yang menjadi favorit baru warga Bodetabek untuk bersantai, yakni Tebet Eco Park (TEP).

Ketika TEP baru diresmikan pada 23 April 2022 oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, taman seluas 7 hektar dengan fasilitas yang bisa dinikmarti secara gratis itu, langsung dipenuhi pengunjung.

Tebet Eco Park|dok. Dwi Rahmawati/detik.com
Tebet Eco Park|dok. Dwi Rahmawati/detik.com

Pengunjung TEP mayoritas justru bukan warga Tebet dan sekitarnya, tapi mereka yang datang dari Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor.

Akibat membludaknya pengunjung yang diluar dugaan pihak pengelola TEP, sejak pertengahan Juni 2022 TEP terpaksa ditutup untuk sementara.

Semoga TEP bisa segera dibuka lagi, tentu dengan pengaturan yang lebih baik demi kenyamanan pengunjung, untuk dinikmati warga mana pun juga yang berkesempatan berkunjung ke sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun