Adapun contoh negatifnya, kemacetan lalu lintasnya juga menyatu. Bahkan, kemacetan di kawasan pinggiran pada jam berangkat dan pulang kerja, lebih parah, karena jalan yang sempit.
Musibah banjir pun menyatu, apalagi ada banjir kiriman dari kawasan Bogor yang cukup sering terjadi. Artinya, derita orang Jakarta ya derita orang Bodetabek juga, demikian juga bahagianya.
Bukti yang tak terbantahkan bahwa penyakit Jakarta adalah penyakit Bodetabek juga, terlihat ketika Covid di Jakarta melonjak, maka melonjak juga kasus di Bodetabek.
Jadi, sekali lagi, Jakarta dan "Jakarta Coret" tak bisa dipisahkan. Bukankah sebagian besar para pekerja di Jakarta justru berdomisili di kawasan penyangga tersebut?
Nah, jika ruang publik di Jakarta dimanfaatkan oleh remaja Citayam (masuk Kabupaten Bogor), itu justru konsekuensi dari tak terpisahkannya Jakarta dengan kawasan penyangga ibu kota.
Makanya, tak heran, bila sekarang ini lagi marak fenomena "Citayam Fashion Week" (CFW) yang mengambil panggung di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Sebetulnya, para remaja penggiat CFW bukan hanya dari Citayam dan Bojonggede saja, tapi juga dari berbagai kawasan Bodetabek lainnya.
Warga yang ber-KTP DKI Jakarta jangan memandang warga Bodetabek sebagai orang luar, soalnya pada dasarnya mereka juga orang Jakarta.Â
Banyak sekali remaja Bodetabek yang orangtuanya dulu tinggal di Jakarta, kemudian karena tergusur, "melarikan diri" ke kawasan penyangga.
Atau, kalaupun tidak tergusur, sebagian adalah sebagai dampak dari bagi-bagi warisan. Dari sebuah rumah di Jakarta yang dijual, katakanlah dibagi empat, maka seorang ahli waris hanya mampu membeli rumah di luar Jakarta.
Jika trotoar yang lebar dan indah di Jakarta Pusat dijadikan catwalk oleh anak-anak Citayam, ya sah-sah saja. Apalagi, ruang publik di area pemukiman di luar DKI Jakarta memang langka.